Cari Blog Ini

Senin, 10 September 2012

LOMBA MENULIS RESENSI BUKU

Dalam rangka menyebarluaskan warisan pengetahuan dan pengalaman almarhum Ramadhan K.H. (wartawan, sastrawan dan biograf) kepada masyarakat luas, Lembaga Studi Biografi RAMADHAN K.H. Institute menyelenggarakan Lomba Menulis Resensi Buku.

TEMA: "Ramadhan K.H., Menulis Biografi Memaknai Perjalanan Hidup"

Ketentuan Naskah:
  • Lomba ini terbuka bagi pelajar, mahasiswa, wartawan, penulis dan masyarakat umum.
  • Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) naskah resensi.
  • Judul buku yang diresensi “The Secret of Biography: Rahasia Menulis Biografi Ala Ramadhan K.H.” (Penerbit Akademia, imprint PT. Indeks). Buku dapat diperoleh di Toko Buku Gramedia, Toko Buku Gunung Agung dst, dan dapat dipesan di Toko Buku Online www.bukukita.com.
  • Naskah lomba ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan diterbitkan di media (baik cetak maupun online) selama September dan Oktober 2012.
  • Panjang naskah minimal 2500 karakter dan atau menyesuaikan dengan ketentuan penulisan resensi buku pada masing-masing media cetak dan online.
  • Naskah resensi memuat cover buku, judul buku, penulis, penerbit dan tahun terbit.
  • Merupakan karya asli. Penjiplakan atas karya orang lain dalam bentuk apa pun tidak dibenarkan. Panitia berhak membatalkan keikutsertaan dalam lomba ini.
  • Resensi belum pernah/tidak sedang diikutkan dalam lomba penulisan lainnya dan belum pernah dipublikasikan di media apapun.
  • Naskah wajib diposting di halaman http://www.facebook.com/pages/The-Secret-of-Biography-Rahasia-Menulis-Biografi-Ala-Ramadhan-KH/270024366371323  pada facebook Sang Biograf.
  • Ajak teman-teman untuk "LIKE" resensi Anda, karena ini bisa menjadi nilai tambah dalam penilaian resensi Anda oleh panitia lomba.
  • Promosikan resensi Anda lewat twitter @SangBiograf dengan cara: Buat hastag #RESENSI, mention @SangBiograf dan ajak teman-teman Anda minimal 5 Orang untuk Followed @SangBiograf berikut dengan link tulisan Anda. Kami akan RT ke ribuan follower @SangBiograf agar mereka bisa melihat tulisan Anda.
Pemenang:
  • Akan dipilih enam tulisan terbaik yang memenuhi syarat menjadi Juara Umum, Juara I-III dan  Juara Harapan I-II.
  • Pemenang akan di umumkan pada November 2012 melalui website www.penulisbiografi.com, facebook Sang Biograf dan halaman http://www.facebook.com/pages/The-Secret-of-Biography-Rahasia-Menulis-Biografi-Ala-Ramadhan-KH/270024366371323 
  • Pemenang akan mendapatkan hadiah berupa: Dana pembinaan dan pengembangan diri senilai Rp. 2.000.000,-  (untuk enam pemenang) dari RAMADHKAN K.H. Institute, Sertifikat dari RAMADHAN K.H. Institute, Peluang dan kesempatan menjadi staf riset, transcriptor, asisten penulis biografi dan penulis biografi pada RAMADHAN K.H. Institute, AMAZING LIFE STORY Inc dan ANDALUCIA PUBLISHING SERVICE
  • Keputusan panitia bersifat final dan tidak dapat digugat.

Lomba Menulis Resensi Buku ini terselenggara atas kerjasama RAMADHAN K.H. Institute, AMAZING LIFE STORY Inc, ANDALUCIA PUBLISHING SERVICE, www.penulisbiografi.com, Penerbit Akademia dan Toko Buku Online www.bukukita.com

Kamis, 12 Juli 2012

Jokowi Tidak Kebagian Tiket Pesawat

Suatu sore di tahun 2009 tanpa sengaja saya bertemu Jokowi, Walikota Solo di Bandara Internasional Adisutjipto Yogyakarta. Ia mengenakan kemeja putih, mendorong sendiri traveling bag menuju pintu utama tanpa didampingi ajudan atau pejabat Kota Solo.

Saya merasa heran, mengapa Jokowi harus ke Bandara Adisutjipto untuk terbang ke Jakarta padahal di Solo ada Bandara Internasional Adisumarmo yang tidak kalah mewahnya dan baru diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Saya belum pernah bertemu-muka dengan Jokowi dan tidak kenal dengan beliau sebelumnya, tapi karena penasaran saya sapa Jokowi yang baru turun dari mobil pribadi yang mengantarnya:

Saya: Pak Wali, loh kok Bapak di sini, kenapa tidak terbang dari Solo saja, kan dari sana juga bisa?

Jokowi: Iya Dik, maunya begitu, tapi saya tidak kebagian tiket pesawat di Solo, jadi dari Yogya saja, yang penting tiba dengan selamat to?

Saya: Bagaimana mungkin seorang Walikota Solo bisa tidak kebagian tiket pesawat di daerah sendiri, bukankah biasanya ada jalur khusus untuk pejabat seperti Bapak?

Jokowi: Ha..ha..ha..saya kan bukan orang khusus Dik...lagian tidak enak kalo dikhususkan begitu...

Saya: Lantas, kenapa Bapak ke Jakarta sendirian dan Bapak dorong tas tanpa dibantu ajudan?

Jokowi: Wah Dik malah tambah repot nanti kalo berdua...dan menambah biaya yang tidak perlu...kecuali kalau ada hal yang penting baru biasanya saya ajak kepala dinas atau staf lainnya...

Saya: Wah jarang sekali saya lihat pemimpin seperti Bapak...sederhana dan efektif...

Jokowi: Memang sudah seharusnya begitu Dik, tidak ada yang aneh...ayo kita ke Dunkin Donat dulu sambil menunggu jadwal take off..

Sementara kami berdua minum kopi sebentar, saya masih terheran-heran dan kagum dengan kesederhanaan Jokowi. Saya lihat beliau mengeluarkan tiket dari sakunya, tertera kode yang menunjukkan kelas ekonomi. Rasa kagum saya pun bertambah.

Beberapa waktu kemudian saya mengklik Google dengan kata kunci “Jokowi”, banyak cerita tentang beliau. Diantaranya disebutkan Jokowi selama menjabat Walikota Solo tidak pernah mengambil gajinya, ia hidup dari pendapatan bisnis yang sejak muda ia lakoni. Sementara gajinya dikelola staf untuk membiaya sekolah anak-anak dari keluarga tidak mampu dan membantu kegiatan sosial warga Solo.

Tanggal 11 Juli 2012 prediksi banyak lembaga survei menyebutkan Jokowi berada di urutan pertama dalam perolehan suara terbanyak Calon Gubernur DKI Jakarta. Selangkah lagi ini menjadi kenyataan. Semoga Jokowi membawa perubahan besar bagi Ibu Kota Republik Indonesia.

Kisah Nyata : Dialog SMS Sang Tokoh dan Sang Biograf

Dialog SMS Sang Tokoh dan Sang Biograf (Kisah Nyata)

Sang Tokoh : Berapa harga jasa penulisan biografi?
Sang Biograf: Tergantung seberapa berharga hidup Bapak menurut Bapak sendiri.

Sang Tokoh : Tentu saja sangat berharga dan tak dapat dinilai dengan materi.
Sang Biograf: Demikian pula biografi Bapak, sangat berharga dan tak dapat dinilai dengan materi.

Sang Tokoh : Maksud saya harga jasa penulisannya, berapa?
Sang Biograf: Tergantung seberapa besar Bapak menghargai hidup Bapak sendiri.

Sang Tokoh : Ya ya...saya jadi terpikir sekarang...saya sudah memiliki segalanya: harta, tahta dan wanita...tapi saya seringkali kehilangan makna hidup...terimakasih Anda sudah membantu saya menghargai hidup yang diberikan Tuhan. Saya akan terus berusaha memaknai hidup dengan berbuat yang terbaik untuk setiap orang, siapa saja dan di mana saja. Saya tunggu di rumah ya. Saya akan ceritakan kisah hidup saya selengkapnya. Sekali lagi terima kasih ya.

Sang Biograf: Terima kasih kembali Pak, kehidupan Bapak dan setiap orang adalah pelajaran berharga buat saya untuk hidup yang lebih baik. Sukses selalu ya Pak.

Senin, 09 Juli 2012

Rekomendasi: Buku Hebat dari Penulis Hebat (2)

Stephenie Meyer, novelis yang terkenal di dunia dengan karyanya Twilight Saga mengatakan “Sesungguhnya, semakin dalam kau menekuni dunia tulis-menulis, kau akan menyadari bahwa tidak ada cerita yang benar-benar baru.”
Ia benar, tidak ada cerita yang benar-benar baru. Setiap cerita telah diceritakan, jadi setiap penulis hanya menceritakan dengan cara lain. Itulah salah satu alasan terbesar kita harus banyak membaca ketika menulis. Untuk memperkaya wawasan Anda tentang menulis, saya rekomendasikan buku-buku hebat yang ditulis oleh penulis hebat, sebagai berikut.

1. The Twilight Saga: The Official Illustrated Guide
    Penulis: Stephenie Meyer
    Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

2. Menulis Fiksi Itu Seksi: 1001 Trik Menulis Fiksi dengan Asyik dari Penulis Bestseller
    Penulis: Alberthiene Endah
    Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

3. Kitab Writerpreneur: Jangan (Takut) Jadi Penulis!
     Penulis: Sofie Beatrix
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

4. Happy Writing: 50 Kiat Agar Bisa Menulis dengan “Nyasyik”
    Penulis: Andrias Harefa
    Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

5. Chicken Soup for The Writer’s Soul: Harga Sebuah Impian, Para Penulis Berbagi Cerita
     Penulis: Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Bud Gardner
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

6. Be A Writer, Be A Celebrity!: The Secrets of Best-Seller Novels
     Penulis: Andrei Aksana
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

7.  Mengarang Novel Itu Gampang
     Penulis: Arswendo Atmowiloto
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

8.  Mengarang Itu Gampang: Menulis Skenario & Laku
     Penulis: Arswendo Atmowiloto
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

9. Menaklukkan Media: Berbagi Pengalaman Menulis Opini & Resensi Buku
     Penulis: Andi Andrianto
     Penerbit: PT Elex Media Komputindo

10. 6 Langkah Jitu: Agar Tulisan Anda Makin Hidup dan Enak Dibaca
     Penulis: Wahyu Wibowo
     Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

11. Goodreads: Komunitas Gila Baca, Tempat Jitu Promosi Buku
      Penulis: Alexius Satyo Widijanuarto
      Penerbit: PT Elex Media Komputindo

12. Ternyata Menulis Itu Mudah dan Menghasilkan Uang
      Penulis: Satria Nova
      Penerbit: PT Elex Media Komputindo

13. Principles of Creative Writing
      Penulis: R. Masrie Sareb Putra
      Penerbit: PT Indeks

14. Lima Langkah Lahirkan Mahakarya: Melejitkan Potensi Diri dengan Biasakan Berkarya
      Penulis: Muhammad Musrofi
      Penerbit: Hikmah (Mizan Publika)

15. Bagaimana Menulis Biografi? Persfektif Jurnalisme
      Penulis: Ana Nadya Abrar
      Penerbit: Emerson

16. Pedoman Menulis Otobiografi
      Penulis: Roy Mungo
      Penerbit: Pustaka Tangga

17. Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller
      Penulis: Edy Zaqeus
      Penerbit: Five Star

18. Taktis Menyunting Buku
      Penulis: Bambang Trim
      Penerbit: Maximalis

19. Karier Top sebagai Penulis
      Penulis: Bambang Trim
      Penerbit: PPM Manajemen 

20. Mind Writing: Memotivasi Seseorang untuk Menulis Lebih Penting daripada Belajar
      Teori Bahasa
      Penulis: Herien Priyono
      Penerbit: Leutika
           
21. Meramu Kisah Dramatis, Menuju Klimaks dalam Cerita
 Penulis: William Noble
 Penerbit: Mizan Learning Center

22. Mencipta Sosok Fiktif yang Memikat dan Dipercaya Pembaca
      Penulis: Orson Scott Card
      Penerbit: Mizan Learning Center

23. Creative Writing: 72 Jurus Seni Mengarang
      Penulis: Dra. Naning Pranoto, M.A.
      Penerbit: PT Primamedia Pustaka (Kelompok Gramedia Majalah)

24. How to Write and Market A Novel
      Penulis: R. Masrie Sareb Putra & Yennie Hardiwidjaja
      Penerbit: Kolbu (MQS Publishing)
 
25. 7 Hari Mahir Menulis Buku Best Seller
      Penulis: M. Mufti Mubarok
      Penerbit: Mumtaz Media (Java Pustaka Group)

26. 88 Kiat Menjadi Penulis Hebat
      Penulis: Syamsa Hawa & Irawan Senda

27. Menulis Itu Gampang
      Penulis: Damien Dematra
      Penerbit: Gerakan Nasional Menulis

28. 200 Ide Gila Menulis Buku
       Penulis: Dewanto Nugroho
       Penerbit: Salamadani

29.  Saya Bermimpi Menulis Buku
       Penulis: Bambang Trim
       Penerbit: Kolbu

30.  Terampil Mengarang
        Penulis: The Liang Gie
        Penerbit: Andi

31.   A Million Miles In A Thousand Years
        Penulis: Donald Miller
        Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

32.   The Art of Stimulating Idea
        Penulis: Bambang Trim
        Penerbit: Metagraf (Tiga Serangkai Group)

33.   Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi
        Penulis: Wijaya Kusumah
        Penerbit: PT Indeks

34.   Be a Brilliant Writer, Kiat Sukses Menjadi Pendekar Pena
        Penulis: Afifah Afra
        Penerbit: Gizone Books (Imprint Indiva Media Kreasi)

35.   TE-WE (Travel Writer): Being Traveler, Being Writer
       Penulis: Gol A Gong
       Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

36.  Genius Menulis: Penerang Batin Para Penulis
       Penulis: Faiz Manshur
       Penerbit: Nuansa Cendekia

37.  Jadi Penulis? Siapa Takut!
       Penulis: Alif Danya Munsyi
       Penerbit: Kaifa (Kelompok Mizan)

38. Menulis di Blog Bisa Bikin Kaya
       Penulis: Trio Sumawung
       Penerbit: PT Indeks

39.  Menulis untuk Dibaca: Feature & Kolom
       Penulis: Zulhasril Nasir, Ph.D.
       Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

40.  Bagaimana Cara Mengarang Novel
       Penulis: Maria A. Sardjono
       Penerbit: PT Pustaka Sinar Harapan

41.  Menulis Super Cepat Secara Otodidak
       Penulis: Reno Raharja
       Penerbit: Laskar Askara

42.  Kiat Sukses Sang Editor
       Penulis: Jhoni Hari Santosa & E. Kosasih
       Penerbit: Yrama Widya

43.  I am A Writer: Panduan Pengembangan Diri
       Penulis. Andrea Tejokusumo
       Penerbit: Sunray Books

44.  Becermin Lewat Tulisan
       Penulis: Mathilda AMW Birowo
       Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

45.  Guru Juga Bisa (me) Nulis
       Penulis: Ismail Kusmayadi
       Penerbit: Tinta Emas Publishing

46.  Proses Kreatif Menulis Cerpen
       Penulis: Hermawan Aksan
       Penerbit: Nuansa Cendekia

47.  Demi Pena dan Apa yang Mereka Tuliskan
       Penulis: Muchtar A.F.
       Penerbit: Yrama Widya

48.  When Author Meets Editor
       Penulis: Luna Torashyngu & Donna Widjajanto
       Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

49.  Duhai Perempuan Menulislah Agar Engkau Semakin Cantik
       Penulis: Reni Nuryanti
       Penerbit: Tiara Wacana

50.  Kekuatan Pena
       Penulis: Eko Prasetyo
       Penerbit: PT Indeks

51.  Penulisan Sastra Kreatif
       Penulis: Heru Kurniawan & Sutardi
       Penerbit: Graha Ilmu

52.  Daripada Bete Nulis Aja!
       Penulis: Caryn Mirriam-Goldgerg, Ph.D.
       Penerbit: Kaifa for Teens

53.  Taruhan Mewujudkan Tulisan
       Penulis: Margaret Atwood
       Penerbit: Jalasutra

Slamet dan Markumi, Potret Kemiskinan di Sekitar Kita


Slamet dan Markumi adalah sahabat saya di masa kecil yang kehidupannya membuka mata hati saya dan memperkenalkan saya pada pedihnya hidup sebagai orang miskin dan betapa berat berjuang melawan kemiskinan.
Pengalaman sehari-hari bergaul bersama dua sahabat ini menjadi kenangan tersendiri bagi saya, diwarnai kisah pedih kehidupan mereka dan indahnya persahabatan kami, yang di kemudian hari menyisakan pertanyaan besar bagi saya, mengapa begitu banyak orang hidup dalam kemiskinan justru di negeri Indonesia yang kaya-raya?   
Slamet, secara alamiah menjadi sahabat karib saya setelah kami dipertemukan dalam pergaulan sehari-hari sebagai siswa pada sekolah yang sama, Sekolah Rakyat Kotabumi, Lampung Utara pada tahun 1960-an. Saat itu, kalau tidak salah, saya sudah duduk di kelas empat dan begitu juga Slamet.
Saya tidak ingat bagaimana persisnya pertama kali kami bertemu, tetapi yang jelas persahabatan kami begitu indah, tanpa jarak pembatas sama sekali, meski saya lebih beruntung karena terlahir dari keluarga pengusaha yang tentu saja hidup serba kecukupan, sementara Slamet, anak seorang janda miskin yang sehari-hari harus berjuang membantu ibunya untuk sekadar menyambung hidup dan membayar uang sekolah.  
Suatu hari, saya melihat Slamet dan ibunya sedang menjual minuman teh di atas kereta api yang sedang bergerak dari Stasiun Kotabumi menuju Stasiun Ketapang. Saya sengaja mencari Slamet karena ia belakangan tidak masuk sekolah dan menemukannya sedang berjualan di atas kereta api. Ibunya sedang menawarkan dagangan ketika seorang pria muncul secara tiba-tiba di hadapan Slamet dan menyerangnya secara brutal. Dari mulut pria itu, saya dengar kata-kata kotor dan makian, sambil berkali-kali meminta Slamet membayar hutang.
Tentu saja saya terkejut melihat kejadian itu, saya ingin menyelamatkan Slamet dari pukulan pria itu, tapi tidak banyak yang dapat diperbuat bocah laki-laki seusia saya kecuali memekik, menjerit sekeras-kerasnya, supaya orang-orang di atas lorong kereta yang melihat kejadian itu menghentikan penganiayaan terhadap Slamet. Ibunya meratap pedih mendapati sang anak dipukul orang karena tidak dapat membayar hutang.  
Saya merasa miris melihat kejadian ini -- seorang sahabat yang sehari-hari bersama-sama mengisi waktu istirahat sekolah dengan canda dan beragam permainan lucu -- di depan mata saya dipukul orang karena tidak dapat membayar hutang, sementara saya tidak berdaya untuk menolongnya.
Kesedihan saya terasa kian dalam merasuk ke hati, setelah mendengar cerita Slamet bahwa ia terpaksa meminjam uang dengan pria itu untuk keperluan mendesak membayar uang sekolah, oleh karena penghasilan ibunya tidak mencukupi untuk itu. Bahkan, uang pinjaman itu pun hanya bisa menutupi sebagian tagihan uang sekolahnya. Saya jadi tahu penyebab ia tidak masuk sekolah belakangan ini, oleh sebab tagihan uang sekolahnya belum terbayar.
Saya belajar dari kejadian ini, alangkah susahnya Slamet untuk bisa sekolah. Saya memang bocah yang awam dengan urusan hutang dan konsekuensinya bila tidak membayar hutang, tapi batin saya bertanya apakah Slamet yang malang harus mendapat perlakuan hina dan menyakitkan seperti itu. Di hadapan orang banyak dimaki-maki dengan kata-kata yang tidak pantas, diminta membayar hutang, lalu dihujani pukulan.
Lantas, hati saya tidak terbendung lagi, jiwa saya memberontak. Saya menjadi sadar, inilah kenyataan hidup yang dihadapi orang miskin dan saya harus berbuat, apapun bentuknya saya akan menolong sahabat saya Slamet.  
Setelah pulang ke rumah, saya lantas melirik tabungan yang selama ini saya sisihkan dari uang saku pemberian orangtua setiap kali saya berangkat sekolah. Esoknya saya temui Slamet untuk pinjamkan uang agar ia bisa bayar utang dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah kembali. Slamet terkejut dengan uluran tangan saya, matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara banyak, tapi saya tahu dalam hatinya ia mengucap kata terimakasih dan saya senang sekali membantunya, walaupun jumlahnya tidak seberapa.  
Alhamdulilah, hutang Slamet dengan pria itu sudah lunas dan ia juga bisa kembali bersekolah. Setelah kejadian itu, setiap pagi Slamet dengan setia menunggu saya di depan rumah untuk sama-sama berangkat ke sekolah. Slamet dengan sukarela mendorong sepeda saya ketika kami sampai di jalan yang mendaki, sebaliknya setelah sampai di jalan datar dan menurun Slamet langsung loncat ke sepeda dan duduk di belakang saya. Sungguh indah persahabatan kami.
Tetapi belakangan Slamet tidak masuk sekolah lagi. Saya pikir ia mungkin menghadapi masalah di rumah atau di kereta api, tempat ia sehari-hari mendampingi ibunya berjualan selepas pulang sekolah. Setelah lama tidak ada kabar, saya datangi rumahnya dan Slamet tidak ada di rumah. Saya tanyakan pada ibunya yang sedang duduk termenung seorang diri di rumah mereka, yang sebenarnya tidak layak untuk disebut rumah.
“Bu, kenapa Slamet tidak masuk sekolah lagi? Slamet sedang ke mana?” tanya saya polos.
Ibunya menjawab dengan kalimat pendek ”Slamet wis entek, kelindes sepur. (Slamet sudah habis, terlindas kereta api)”. Saya terkejut mendengarnya, terdiam, dan bulir-bulir air mata saya memenuhi pipi.
Saya amat terpukul dengan “hilangnya” Slamet dari kehidupan saya secara memilukan. Yang menjadi sebab kesedihan saya, perjuangan Slamet untuk sekolah dan menyambung hidup harus berakhir di atas rel kereta api yang menelan hidupnya. Tapi yang menguatkan saya adalah keyakinan bahwa persahabatan kami yang indah itu tetap abadi.
Kisah persahabatan saya dengan Markumi tidak kalah mengharukan dengan cerita tentang Slamet. Bedanya Markumi,  persahabatan kami terjadi karena sering bertemu di kebun dan bermain bersama. Markumi, sahabat saya, berasal dari Ogan Lima, sekitar 3 Km dari Kotabumi, Ibu Kota Lampung Utara.
Ia tinggal di sebuah gubuk bambu di dekat Sungai Way Umban. Markumi rela tinggal sendirian di kebun sepi bermodal cobek untuk menumbuk sambal dan panci serta jaring ikan. Ia harus jauh dari orang tuanya hanya karena di Kotabumi sajalah ada sekolah rakyat pada tahun 1960-an itu.
Persahabatan saya dengan Markumi diwarnai kenakalan layaknya anak-anak. Kami kerap mengisi waktu mandi bersama di sungai yang airnya masih sangat jernih, menangkap ikan, menyabut singkong dan lainnya. 
Untuk dapat bertemu Markumi dan bermain di sungai, tentu saja saya harus diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarga, jika tahu rencana saya yang sebenarnya ibu saya pasti tidak mengizinkan.
Setiapkali ibu bertanya pada saya buat apa membawa sebotol kecap? Saya akan menjawab: “Buat bikin masakan sama Ayuk, Mak,” jawab saya berkelit. Padahal kecap itu bekal untuk saya dan Markumi membakar ikan di pinggir sungai, setelah kami berhasil menjerat ikan dengan jaring. Biasanya kami akan mandi sepuasnya di sungai itu setelah acara makan ikan bakar. Sungguh pengalaman bersahabat dengan Markumi penuh kenangan indah.
Namun, entah mengapa belakangan Markumi tidak lagi muncul di sekolah. Ketika saya cari ke gubuk bambu tempat ia selama ini tinggal, gubuk itu sudah kosong. Markumi tiba-tiba hilang dari kehidupan saya sebelum kami bisa sama-sama membangun sukses dalam bisnis dan kehidupan. Saya selalu sedih kerapkali mengingat perjuangannya untuk sekolah, dengan segala keterbatasan hidup. Markumi tinggal di gubuk sendirian dengan makan dan minum seadanya dan bersekolah dengan keadaan serba minim.
Kehidupan kedua sahabat itu terus menyita hati dan pikiran saya, sejak kami bertemu dan sampai saya mendekati senja. Dua pelajaran yang dapat saya petik adalah kedua sahabat saya itu rela melakukan apa saja demi memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak.
Slamet dan Markumi adalah potret kehidupan kaum miskin di sekitar kita. Orang miskin yang hidup di negeri kaya yang semakin hari kian tersisih dari persaingan hidup. Mereka sungguh nyata ada, namun kerap dianggap tidak ada oleh kita. Mereka hanya ditemui ketika akan berlangsung pesta politik, sesudahnya hanya tinggal cerita. Mereka sering tidak dipandang dengan mata dan hati yang terbuka.

(Tulisan ini adalah bagian dari naskah buku “Hidup Miskin di Negeri Kaya: Catatan Pengalaman DR. H.R. MOCHTAR SANY F. BADRIE Presiden Direktur MS Corporation & Penggagas Gerakan SATMAKURA dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan” yang ditulis oleh Zulfikar Fuad dan akan diterbitkan oleh ANDALUCIA Publishing).


Sabtu, 23 Juni 2012

Proses Penulisan Buku Biografi Hoegeng

Akhir 1992 jadi di zaman Orde Baru, di tengah perlbagai tekanan dan larangan Bang Ali (Sadikin) menyampaikan pikirannya: “Yang harus ditulis, riwayat hidup Pak Hoegeng”. Tentu saja dorongan Pak Ali itu menyebabkan niat saya yang sudah ada, hidup dan tumbuh. Namun, waktu itu saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Dalam kondisi itu saya tidak mau melepaskan kesempatan ini. Takut, kalau-kalau…

Bang Ali menyambung lagi, “Riwayat hidup Pak Hoegeng penting dibukukan”. Saya mengiyakan dan mengangguk-angguk. Saya tidak mengatakan bahwa saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Saya tidak mau mengecewakannya.

Kelanjutannya, saya telepon-teleponan dengan Bang Ali, setelah saya mendapatkan jalan keluar: penulis novel Abrar Yusra sedia mewawancarai dan menyusun riwayat hidup Pak Hoegeng. Saya siap mengoreksi hasil kerja Bung Abrar bab per bab.

(Maaf sebesar-besarnya kepada Bang Ali di sini—sebab saya sebenarnya tidak boleh membocorkan “rahasia” tentang bantuan Bang Ali untuk “uang bensin” yang diberikan Bang Ali dan diteruskan kepada Bung Abrar. Maka bisalah wawancara dan penyusunan naskah tentang Pak Hoegeng dilaksanakan).

Saya menemui Pak Hoegeng di rumahnya di Jln Madura (Sekarang Jl. Prof. Muh. Amin), menceritakan hasrat saya untuk menuliskan riwayat hidupnya. Kesan saya, santun sekali Pak Hoegeng menerima saya. Saya jadi seperti malu karena sikapnya yang begitu baik.

Ada lukisan yang belum selesai di tengah rumah itu. Dari keterangan Pak Hoegeng, lukisan itu berupa bunga di atas jambangan, naturalistik, adalah hasil kerjanya. “Daripada nganggur,” katanya, “saya coba-coba melukis. Eh, ada juga yang membelinya”.

“Ia yang membelinya itu,” sambung Pak Hoegeng, “menaruh simpati saja pada saya, barangkali, maka ia membelinya,”.

“Siapa yang tidak akan bersimpati pada Bapak?,” sambung saya.

Ada mobil di depan garasi rumah itu. Rupanya Pak Hoegeng melirik pada saya, waktu saya memperhatikan mobil itu.

“Itu hadiah dari Kapolri, dari polisi,” kata Pak Hoegeng menerangkan mobil itu.

“Mengetahui bahwa saya tidak memiliki mobil, mereka memberikan mobil itu kepada saya,” sambung Pak Hoegeng.

Tidak perlu diterangkan, tampak sekali bahwa mobil itu, mobil bekas, bukan baru.

Setelah berbicara agak panjang, dengan menerangkan bahwa yang akan mewawancarai Pak Hoegeng adalah Sdr. Abrar, pamitlah saya.

Tambah yakin saya, bahwa Pak Hoegeng memang orang yang sederhana, yang tak pernah menyalahgunakan kekuasaannya, yang jujur, yang sanggup hidup dengan pensiunnya yang syah. Begitupun tentang istrinya. Tanpa pasangan hidup yang sama kuatnya, sulit sekali kita bisa bersikap jujur di zaman ini. Dan pasangan Bapak dan Ibu Hoegeng tampak mulus dan setia sampai sekarang.

***

Bersama-sama dengan Bung Abrar, saya menemui lagi Pak Hoegeng di rumahnya untuk memulai wawancara.

Seperti semula, hormat sekali penerimaan Pak Hoegeng. Itu kesan yang saya peroleh. Pak Hoegeng, dalam menceritakan pengalaman hidupnya itu banyak humornya—kocaknya—lucunya. Dalam pada itu, ia pun menunjukkan hal-hal yang prinsipil di dalam menempuh hidupnya.

Dari wawancara pertama kali yang saya hadiri, saya sudah bisa menangkap bahwa Pak Hoegeng adalah tokoh yang polos, yang bicara jujur, tetapi yang bersikap tidak mau menyinggung hati orang lain selain mengenai bajingan, penyuap, koruptor, penyelundup, penjahat criminal yang keterlaluan.

Kalau bicara keras begitu pun, ia cerita singkat-singkat saja. Ia tidak menonjolkan diri sebagai pahlawan atau hero. Ia simpan di dalam hatinya—atau mungkin malahan tidak merasa sama sekali—perasaan atau sikap kepahlawanan. Ia anggap hidup jujur dan menjauhi atau menolak suap itu sebagai hal yang sudah seharusnya. Maka ia berbicara lancer dan biasa-biasa saja. Bahwasannya ia telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada kemerdekaan Republik kita ini, itu pun ia ceritakan dengan sikap yang jauh dari sombong. Namun, keteguhan dalam memegang kebenaran menurut keyakinannya itu, seperti baja yang tidak bisa dipatahkan. Tentang ini bisa saya gambarkan dari hasil wawancara dan yang luput, terlewatkan oleh kami di dalam buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan.

Saya merasa menyesal, bahwa saya tidak bisa ikuti dalam tiap kesempatan mewawancarainya. Saya hanya bisa membaca hasil pekerjaan Bung Abrar, dan menyampaikan kepada Abrar pertanyaan-pertanyaan yang patut diajukan kepada Pak Hoegeng.

Proses selanjutnya tak ada yang aneh, selain dari penyerahan naskah yang sudah saya baca kepada Pak Hoegeng.

 ***

Suatu hari pada 1980, Hoegeng menerima telepon dari TVRI. Orang TVRI itu, entah siapa, meminta maaf dan mengatakan bahwa siaran musik Hawaiian Seniors akan diakhiri. “Siaran itu akan diganti dengan siaran musik nasional,” kata penelepon. Hoegeng langsung menukas, “Lha, yang benar saja! Apa bukan karena saya penandatangan Petisi 50?” Si penelepon langsung menyahut, “Kok Bapak tahu?”.

Cuma sepenggal itulah cerita Pak Hoegeng mengenai Petisi 50 dalam buku itu. “Nunggu waktu baiklah. Nanti akan dibicarakan dulu dengan teman-teman,” komentar Ali Sadikin, salah seorang tokoh Petisi 50 yang bukunya telah lebih dulu diterbitkan. Selebihnya, autobiografi ini lebih bercerita mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan terutama sekali karier Hoegeng di kepolisian.

Pak Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Ayahnya Soekario Kario Hatmojo, seorang jaksa yang berasal dari Tegal. Sedang ibunya, Umi Kalsum, berasal dari Pemalang. Kakek buyut Hoegeng (dari pihak ayah) seorang ningrat keturunan Mataram yang tak boleh hidup di lingkungan keratin setelah pemberontakan Diponegoro. Kakek buyut itu, yang hanya ia kenal dengan sebutan “Pangeran”, konon berpihak kepada Dipenogoro dan memusuhi Belanda saat perang itu meletus.

Alhasil, Pak Hoegeng bisa disebut keturunan ningrat dan ambtenaar sekaligus. Sekalipun begitu, toh latar belakang budaya pesisirnya—tempat ia lahir, hidup, dan dibesarkan—yang berpengaruh besar pada diri Hoegeng. Sebuah budaya yang menimbulkan konotasi khas: “orang Pekalongan”, cerita di seputar “orang Pekalongan”.

Pada 1965 Hoegeng diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri. Sekretarisnya memberitahukan bahwa di balik pintu kerjanya sudah menunggu seorang tamu dari Pekalongan. Sang tamu tak mau bilang ia datang untuk urusan apa. Pesan kepada sekretaris pribadinya singkat. Khas gaya Pekalongan bila hendak bertemu dengan orang Pekalongan. “Pak Hoegeng pasti menerima kedatangan saya!”.

Orang yang menunggu itu ternyata Hasan, teman main laying-layang Hoegeng ketika masih kanak-kanak. Begitu Hasan masuk, dan pintu tertutup, maka menyemburlah sumpah serapah yang hangat dan gembira: “Asu. Kowe bener-bener asu, ya. Gendheng bener, wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri.” (Maaf—Anjing. Kamu benar-benar anjing, ya. Gila amat orang Pekalongan bisa jadi menteri). Itulah yang disebut Hoegeng sebagai ‘gaya Pekalongan’, sebuah gaya budaya Jawa Pinggiran yang bisa disandingkan dengan gaya Jawa Timuran.

Yang menarik, tentu saja bila kedua orang berbudaya pinggiran bertemu. Alkisah, tak lama sesudah pengangkatannya sebagai menteri, Hoegeng menerima telegram dari dr.Soebandrio—anak wedana yang berasal dari Jawa Timur, yang juga diangkat sebagai menteri oleh Bung Karno. Telegram itu berisi ucapan selamat yang tak mungkin diceritakan pada bawahannya: “Diancuk (sialan!). Kowe diangkat pula jadi menteri!”.

Tak pelak, tulis seseorang di koran, menjadikan buku ini renyah dan enak dibaca.

***

Hoegeng kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) tahun 1940 pada usia 19. Sekolah inilah yang kemudian menghantarkannya pada profesi kepolisian—profesi yang membuatnya bergaul dengan berbagai pengalaman yang menarik. “Menjadi pejabat, apalagi penegak hukum, memang banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tak tahan godaan disuap; dan membuat pleidoi bahwa kekayaannya itu didapat karena pershabatan”.

Pada 1965 Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara—suatu wilayah yang sering disebut test case terberat di Indonesia. Sebutan itu terbukti betul. Begitu tiba di tempat tugasnya, Hoegeng harus menerima ucapan selamat datang yang unik. Ia menemukan rumah dinasnya penuh dengan barang-barang luks, kiriman seorang pengusaha Cina yang mengaku sebagai ‘Ketua Panitia Selamat Datang’

Tentu saja Hoegeng menolak sambutan unik itu. Namun, Cina tukang suap itu ternyata memang badung. Akhirnya karena sampai batas waktu yang ditetapkan barang-barang tersebut belum juga dikeluarkan, maka Hoegeng memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang-barang luks secara paksa. “Saya rasa perkenalan pertama itu memang mendebarkan,” aku Hoegeng.

Jaksa Agung Soeprapto, saat pamitan di Jakarta sebelum berangkat ke Medan, memang mengeluarkan pernyataan yang selalu terngiang-ngiang di kepala Hoegeng. “Anda ditugaskan memberantas penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun, pada akhirnya terserah jij sendiri. Apakah jij mampu bertahan, atau tak lebih dari pejabat yang harganya bisa dihitung: tiga, empat, enam bulan, atau setahun!. Banyak yang tidak tahan dan kami biasa dengar ejekan!”.

Hoegeng rupanya bukan termasuk pejabat yang bisa dihitung itu. Ia bersikap tegas. “…..Saya memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab. Maka keinginan saya yang pertama adalah menegakkan citra ideal polisi dan diri saya,” katanya.

Ia masih memegang prinsip itu hingga kariernya menanjak ke tangga yang paling puncak; sebagai Kapolri. Justru, pada masa itulah Hoegeng berhasil membongkar kasus Robby Tjahjadi—penyelundup mobil mewah kelas kakap, yang jadi salah seorang konglomerat tekstil di Indonesia.

Kasus itu merupakan kasus yang menggemparkan. Melalui modus operandi yang canggih, Robby Tjahyadi, yang hanya jebolan SMA, berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Diketahui, sebelumnya sekitar 3.000 mobil mewah lainnya sudah diselundupkan ke Indonesia.

Ia juga menggemparkan karena faktor lain. Kendati tim inti penyelundupan itu hanya tiga orang, tetapi penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan Kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun.

Tak lama sesudah terbongkarnya kasus Robby Tjahyadi, kepada wartawan Hoegeng menjanjikan lagi sebuah berita besar. Yakni, terbongkarnya kasus penyelundupan besar di Tanjung Priok. Sayang, sebelum janji itu terlaksana, Hoegeng menyadari kariernya di dunia kepolisian harus selesai sebelum masa jabatannya habis. Itu diketahuinya sejak ia diberi sepucuk surat. Isinya: ia didubeskan, mendapatkan tugas baru di Kerajaan Belgia.

Sejak awal Hoegeng sudah memilih. Ia menolak tugas baru tersebut. Setelah Pak Hoegeng berbicara dengan atasannya, Menhankam Panggabean, ia menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tawaran itu. “Lho, bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Pak Harto. “Saya tidak bersedia jadi Dubes, Pak,” jawab Hoegeng. “Tapi tugas apapun di Indonesia akan saya terima,” lanjutnya. Pak Harto menjawab lagi, “Di Indonesia tidak ada lowongan lagi, Mas Hoegeng”. Hoegeng pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja”. Mendengar itu Pak Harto terdiam, Hoegeng juga diam.

Tentu saja, dengan segera pemberhentian itu mengundang kontroversi. Apalagi penggantinya ternyata berusia lebih tua dibandingkan dirinya. Karena itu tak heran, setelah selesai menghadap Presiden, wartawan menberondongnya dengan pertanyaan olokan, “Apakah Bapak sedang diremajakan atau dipertuakan?” Hoegeng yang biasanya tangkas menjawab pertanyaan wartawan, kali itu harus kelabakan.

Banyak yang mengaitkan pencopotan Hoegeng dengan terbongkarnya kasus Robby. Ada pendapat, ia tidak disukai banyak pejabat. Soalnya Hoegeng membongkar kasus itu sebelum Bakolak bagian penyelundupan pimpinan Ali Said turun tangan. Padahal di pihak lain, Hoegeng sendiri sering merasa tidak sabar. Pada 1968 kepolisian menemukan banyak mobil selundupan lolos tanpa melalui prosedur yang sah. Tahun itu juga bahkan disita 4 buah Mercy mewah hasil selundupan. Anehnya, demikian kata Hoegeng, Kejaksaan Tinggi Jakarta lantas mendeponir perkara itu.

Selain masalah penyelundupan, Hoegeng juga dikenal karena kegigihannya untuk menguak kasus Sum Kuning yang melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi militer. Selain itu, Hoegeng yang memberlakukan peraturan wajib helm bagi pengendara kendaraan bermotor.

Selain berbagai pengalaman pribadinya mengabdi di kepolisian, buku ini juga memuat pandangan Hoegeng mengenai lembaga itu. Misalnya, ia memimpikan “pemulihan wewenang Polri”. Ia memimpikan peran kepolisian yang murni. Artinya, polisi tidak termasuk dalam unsur ABRI. Sebagaimana di negara lain, ia bermimpi suatu kali kepolisian langsung di bawah Presiden/Perdana Menteri atau Mendagri.

Ia berpendapat, secara prinsip ada perbedaan antara doktrin polisi dan militer. Yang pertama, tembak dulu, lalu perkaranya urusan belakang—sebab yang dihadapi militer dalam suatu perang jelas musuhnya. Sedang polisi, ‘jangan tembak, tetapi dudukkan perkara dulu’. “Ketika saya menyampaikan tanggapan saya demikian,” kata Pak Hoegeng, “Pejabat Presiden Soeharto tidak membantah”.

Ditanya bagaimana kriteria polisi yang ideal, Hoegeng menjawab, “Saya harapkan polisi bisa tetap lurus. Saya harapkan generasi muda polisi jujur”.

Meski sudah lama meninggalkan dunia kepolisian, ia masih sering menerima laporan tentang kondisi polisi. Laporan ini, tentunya hanyalah cermin kecil dari dunia kepolisian sekarang. Misalnya, masih ada orang yang ingin ujian masuk polisi, kok disuruh bayar macam-macam. “Menurut saya, hal seperti itu tidak boleh jadi. Dulu waktu saya masih dinas sebagai Kapolri, praktik macam itu memang ada, lalu saya ambil tindakan,” katanya.

Peluncuran Buku

Pada 5 Agustus 1993, Kamis malam, diluncurkan buku HOEGENG, Polisi: Idaman dan Kenyataan di Graha Purna Wira di Jln. Dharmawangsa III/2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kompleks polisi, kalau tak salah. Pihak yang mengundang ialah Aristides Katoppo, pimpinan Pustaka Sinar Harapan dan Aditya Hoegeng dari pihak Pak Hoegeng.

Hadir banyak tokoh pejuang Republik kita malam itu, antara lain Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Subadio Sastrosatomo, mantan Kapolri Awaloedin Djamin, Ketua LBH Adnan Buyung Nasution, Sayidiman Suryohadiprojo, Amartiwi Saleh, tokoh LBH dari Bandung, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto, Soehario Padmowirio yang pernah ditahan Orde Baru.

“Pesta sederhana,” kata Ali Sadikin, seperti acara nostalgia karena hadir rekan-rekan seperjuangan Hoegeng di kepolisian ataupun dalam kelompok Petisi 50. Kenyataan ini berbeda sekali ketika peluncuran buku Bang Ali beberapa waktu lalu.

“Dulu peluncuran buku saya dilakukan di sela-sela kesibukan kantornya Aristides, tidak seperti saat ini,” kata Bang Ali.

Tiap orang yang hadir dalam peluncuran buku itu memberikan kesannya. “Riwayat Hoegeng patut dipelajari semua orang,” ujar Aristides Katoppo memberikan alasan mengapa autobiografi Hoegeng diterbitkannya.

Menurut Aristides, buku autobiografi Hoegeng bukan hanya sekadar menceritakan pengalaman kiprah Hoegeng dalam dunia kepolisian, tetapi ada sesuatu di balik semua itu yang patut diketahui masyarakat. “Sikap dan moral Hoegeng, terasa kian langka untuk ditemukan,” kata Katoppo. Namun, Pak Hoegeng sendiri berkomentar, “Mudah-mudahan buku ini bisa jadi bacaan hiburan di kala senggang,”.

Sosok Hoegeng memang patut diteladani. Ia adalah sosok manusia langka di Indonesia yang kini tengah dilanda krisis multidimensi, begitu juga dengan krisis pemimpin yang jujur dan berdedikasi tinggi pada profesi. Kejujuran, sikap rendah hati yang dimiliki Hoegeng semasa menjadi Kapolri sungguh merupakan keteladanan yang sulit ditemukan di masa kini.

Mohammad Hasan, Kapolri yang menggantikan Hoegeng melukiskan, “Pak Hoegeng adalah orang yang nggak punya musuh. Semua orang senang padanya, hanya tempo-tempo dia keras kepala,” komentar Hasan.

Sedang Bang Ali, Ketua Pokja Petisi 50 mengomentari pasangan suami-istri Hoegeng dan Merry merupakan pasangan yang menyenangkan dalam berbagai pergaulan. “Dia teladan,” ujar Ali Sadikin.

Komentar senada dilontarkan tokoh hak asasi manusia, Adnan Buyung Nasution. “Dia seorang yang berjuang tanpa pamrih. Perbuatannya patut diteladani,” kata Buyung Nasution. Buyung mengutarakan, apa yang dulu dilakukan Hoegeng seharusnya bisa dicontoh. “Buat LBH, Hoegeng punya jasa yang luar biasa. Ia memberikan perhatian dengan memerintahkan kepada jajaran kepolisian untuk membantu LBH menegakkan hukum dalam berbagai kesempatan. Jadi, LBH dianggap Pak Hoegeng sebagai partner perjuangan polisi,” kata Buyung.

Kapolda Metro Jaya waktu itu Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto berucap, “Hoegeng memang polisi yang lurus dan jujur. Ketika jadi Kapolri, ia tidak suka kalau ada polisi yang neko-neko (macam-macam). Jika dapat laporan masyarakat, ada polisi yang melakukan pungli, beliau langsung memanggil polisi yang bersangkutan,” kata Hindarto yang ketika Hoegeng jadi Kapolri, Hindarto masih berstatus mahasiswa PTIK.

Yang saya ingat, selain Aristides Katoppo, Pak Hoegeng dan saya (juga mewakili Abrar Yusra yang bersikap malu-malu), ramai (dan tertawa terbahak-bahak) waktu Bung Subadio berbicara. Lupa lagi bagaimana awalnya, tapi yang terus terkenang adalah waktu Bung Subadio bicara menyinggung dua tokoh kita, yaitu Mochtar Lubis dan Soehario. Soebadio menunjukkan kegembiraannya dengan mengemukakan bahwa ia senang Mochtar Lubis dan Soehario hadi dalam kesempatan itu. Mengutip ucapannya yang pasti tidak tepat kata-katanya tapi serupa isinya, adalah bahwa “Saya gembira sekali Mochtar Lubis yang disebut kaki tangan CIA dan Soehario yang disebut kaki tangan KGB hadir bersama-sama dalam kesempatan ini,”. Gerr, orang-orang tertawa. “Seberapa benarnya cerita orang tentang kedua tokoh ini, saya tidak tahu,” kata Soebadio. “Tapi yang pasti adalah, kita mesti gembira, kedua tokoh pejuang ini sekarang sudah bersatu kembali,”. Memang waktu itu Soebadio sedang gandrung untuk menyatukan kembali semua potensi pejuang Indonesia kita yang pernah tercerai-berai disebabkan sengit antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kelanjutan hubungan baik antara Mochtar Lubis dan Soehario adalah bahwa buku-buku karya Soehario diterbitkan oleh penerbit “OBOR” pimpinan Mochtar Lubis.

***

 Yang tidak saya sadari waktu itu adalah munculnya Ibu Umi Kalsum, ibunda Pak Hoegeng, di atas kursi roda, hubungannya dengan satu kata yang ada di dalam buku. Ternyata adegan ini menjadi perhatian para wartawan, disebabkan tertera di dalam buku Pak Hoegeng itu sebagai caption foto Ibu Umi Kalsum—jadi bukan di dalam cerita pengalaman hidup Pak Hoegeng–, “Ibu saya almarhumah Umi Kalsum”.

Kesalahan ini entah pada siapa. Pasti bukan pada Pak Hoegeng jika ia membaca naskah itu secara lengkap, termasuk caption foto-foto yang ada di dalam naskah itu. Kesalahan itu pasti berada pada yang menetapkan teks caption foto-foto itu. Siapa dia? Siapa yang nyelonong meneriakkan 5 buah kata: “Ibu saya almarhumah: Umi Kalsum” di samping foto ibunda Pak Hoegeng itu? Yang pasti, saya mesti ikut bertanggung jawab. Walaupun itu bagi pihak yang biasa menyusun buku bisa dimaklumi, saya pribadi patut meminta maaf sebesar-besarnya kepada yang bersangkutan dan keluarga Pak Hoegeng. Kesempatan ini saya pergunakan sekarang untuk menyatakan itu.

Setelah saya sadar, saya mesti hati-hati sekali bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan buku: sesama penulis, tokoh yang ditulis, penerbit, percetakan. Namun, kesadaran ini tidak menyebabkan salah cetak hilang dari buku-buku kita yang terbit sekarang. Salah cetak di dalam buku-buku kita yang terbit sekarang ada saja, kalau tidak boleh dikatakan berjubel.

Sementara itu saya sudah mengadakan hubungan yang baik dengan Aristides Katoppo, pemimpin badan penerbit Pustaka Sinar Harapan. Dan dia tentu memperlihatkan kegembiraannya bahwa Pustaka Sinar Harapan dipercaya untuk menerbitkan buku tentang Pak Hoegeng. Ia tidak menarik biaya sesen pun dari penerbitan buku ini.

Pendek kata, semua pihak menaruh hormat kepada Pak Hoegeng, dan tahu bagaimana kedudukan Pak Hoegeng waktu itu.

Bagi keluarga Hoegeng saat peluncuran buku merupakan saat yang membahagiakan karena bertepatan dengan hari ulang tahun ke-91 ibunda Umi Kalsum Karyohatmojo. Sang ibunda, yang malam itu tampak gembira duduk di kursi rodanya.

Setelah kami serahkan buku itu kepada Pak Hoegeng, buku itu kemudian dipersembahkan kepada ibundanya. Selepas buku itu dari tangan, mantan Kapolri itu dengan hikmat memberi hormat dengan cara merangkapkan kedua tangannya di depan dada ke arah sang ibunda yang dicintainya, Umi Kalsum.

Oleh: Ramadhan K.H.

(Catatan ini ditulis oleh Ramadhan K.H. dan dikutip dari buku “Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang, April 2009)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...