Cari Blog Ini

Sabtu, 23 Juni 2012

Proses Penulisan Buku Biografi Hoegeng

Akhir 1992 jadi di zaman Orde Baru, di tengah perlbagai tekanan dan larangan Bang Ali (Sadikin) menyampaikan pikirannya: “Yang harus ditulis, riwayat hidup Pak Hoegeng”. Tentu saja dorongan Pak Ali itu menyebabkan niat saya yang sudah ada, hidup dan tumbuh. Namun, waktu itu saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Dalam kondisi itu saya tidak mau melepaskan kesempatan ini. Takut, kalau-kalau…

Bang Ali menyambung lagi, “Riwayat hidup Pak Hoegeng penting dibukukan”. Saya mengiyakan dan mengangguk-angguk. Saya tidak mengatakan bahwa saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Saya tidak mau mengecewakannya.

Kelanjutannya, saya telepon-teleponan dengan Bang Ali, setelah saya mendapatkan jalan keluar: penulis novel Abrar Yusra sedia mewawancarai dan menyusun riwayat hidup Pak Hoegeng. Saya siap mengoreksi hasil kerja Bung Abrar bab per bab.

(Maaf sebesar-besarnya kepada Bang Ali di sini—sebab saya sebenarnya tidak boleh membocorkan “rahasia” tentang bantuan Bang Ali untuk “uang bensin” yang diberikan Bang Ali dan diteruskan kepada Bung Abrar. Maka bisalah wawancara dan penyusunan naskah tentang Pak Hoegeng dilaksanakan).

Saya menemui Pak Hoegeng di rumahnya di Jln Madura (Sekarang Jl. Prof. Muh. Amin), menceritakan hasrat saya untuk menuliskan riwayat hidupnya. Kesan saya, santun sekali Pak Hoegeng menerima saya. Saya jadi seperti malu karena sikapnya yang begitu baik.

Ada lukisan yang belum selesai di tengah rumah itu. Dari keterangan Pak Hoegeng, lukisan itu berupa bunga di atas jambangan, naturalistik, adalah hasil kerjanya. “Daripada nganggur,” katanya, “saya coba-coba melukis. Eh, ada juga yang membelinya”.

“Ia yang membelinya itu,” sambung Pak Hoegeng, “menaruh simpati saja pada saya, barangkali, maka ia membelinya,”.

“Siapa yang tidak akan bersimpati pada Bapak?,” sambung saya.

Ada mobil di depan garasi rumah itu. Rupanya Pak Hoegeng melirik pada saya, waktu saya memperhatikan mobil itu.

“Itu hadiah dari Kapolri, dari polisi,” kata Pak Hoegeng menerangkan mobil itu.

“Mengetahui bahwa saya tidak memiliki mobil, mereka memberikan mobil itu kepada saya,” sambung Pak Hoegeng.

Tidak perlu diterangkan, tampak sekali bahwa mobil itu, mobil bekas, bukan baru.

Setelah berbicara agak panjang, dengan menerangkan bahwa yang akan mewawancarai Pak Hoegeng adalah Sdr. Abrar, pamitlah saya.

Tambah yakin saya, bahwa Pak Hoegeng memang orang yang sederhana, yang tak pernah menyalahgunakan kekuasaannya, yang jujur, yang sanggup hidup dengan pensiunnya yang syah. Begitupun tentang istrinya. Tanpa pasangan hidup yang sama kuatnya, sulit sekali kita bisa bersikap jujur di zaman ini. Dan pasangan Bapak dan Ibu Hoegeng tampak mulus dan setia sampai sekarang.

***

Bersama-sama dengan Bung Abrar, saya menemui lagi Pak Hoegeng di rumahnya untuk memulai wawancara.

Seperti semula, hormat sekali penerimaan Pak Hoegeng. Itu kesan yang saya peroleh. Pak Hoegeng, dalam menceritakan pengalaman hidupnya itu banyak humornya—kocaknya—lucunya. Dalam pada itu, ia pun menunjukkan hal-hal yang prinsipil di dalam menempuh hidupnya.

Dari wawancara pertama kali yang saya hadiri, saya sudah bisa menangkap bahwa Pak Hoegeng adalah tokoh yang polos, yang bicara jujur, tetapi yang bersikap tidak mau menyinggung hati orang lain selain mengenai bajingan, penyuap, koruptor, penyelundup, penjahat criminal yang keterlaluan.

Kalau bicara keras begitu pun, ia cerita singkat-singkat saja. Ia tidak menonjolkan diri sebagai pahlawan atau hero. Ia simpan di dalam hatinya—atau mungkin malahan tidak merasa sama sekali—perasaan atau sikap kepahlawanan. Ia anggap hidup jujur dan menjauhi atau menolak suap itu sebagai hal yang sudah seharusnya. Maka ia berbicara lancer dan biasa-biasa saja. Bahwasannya ia telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada kemerdekaan Republik kita ini, itu pun ia ceritakan dengan sikap yang jauh dari sombong. Namun, keteguhan dalam memegang kebenaran menurut keyakinannya itu, seperti baja yang tidak bisa dipatahkan. Tentang ini bisa saya gambarkan dari hasil wawancara dan yang luput, terlewatkan oleh kami di dalam buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan.

Saya merasa menyesal, bahwa saya tidak bisa ikuti dalam tiap kesempatan mewawancarainya. Saya hanya bisa membaca hasil pekerjaan Bung Abrar, dan menyampaikan kepada Abrar pertanyaan-pertanyaan yang patut diajukan kepada Pak Hoegeng.

Proses selanjutnya tak ada yang aneh, selain dari penyerahan naskah yang sudah saya baca kepada Pak Hoegeng.

 ***

Suatu hari pada 1980, Hoegeng menerima telepon dari TVRI. Orang TVRI itu, entah siapa, meminta maaf dan mengatakan bahwa siaran musik Hawaiian Seniors akan diakhiri. “Siaran itu akan diganti dengan siaran musik nasional,” kata penelepon. Hoegeng langsung menukas, “Lha, yang benar saja! Apa bukan karena saya penandatangan Petisi 50?” Si penelepon langsung menyahut, “Kok Bapak tahu?”.

Cuma sepenggal itulah cerita Pak Hoegeng mengenai Petisi 50 dalam buku itu. “Nunggu waktu baiklah. Nanti akan dibicarakan dulu dengan teman-teman,” komentar Ali Sadikin, salah seorang tokoh Petisi 50 yang bukunya telah lebih dulu diterbitkan. Selebihnya, autobiografi ini lebih bercerita mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan terutama sekali karier Hoegeng di kepolisian.

Pak Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Ayahnya Soekario Kario Hatmojo, seorang jaksa yang berasal dari Tegal. Sedang ibunya, Umi Kalsum, berasal dari Pemalang. Kakek buyut Hoegeng (dari pihak ayah) seorang ningrat keturunan Mataram yang tak boleh hidup di lingkungan keratin setelah pemberontakan Diponegoro. Kakek buyut itu, yang hanya ia kenal dengan sebutan “Pangeran”, konon berpihak kepada Dipenogoro dan memusuhi Belanda saat perang itu meletus.

Alhasil, Pak Hoegeng bisa disebut keturunan ningrat dan ambtenaar sekaligus. Sekalipun begitu, toh latar belakang budaya pesisirnya—tempat ia lahir, hidup, dan dibesarkan—yang berpengaruh besar pada diri Hoegeng. Sebuah budaya yang menimbulkan konotasi khas: “orang Pekalongan”, cerita di seputar “orang Pekalongan”.

Pada 1965 Hoegeng diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri. Sekretarisnya memberitahukan bahwa di balik pintu kerjanya sudah menunggu seorang tamu dari Pekalongan. Sang tamu tak mau bilang ia datang untuk urusan apa. Pesan kepada sekretaris pribadinya singkat. Khas gaya Pekalongan bila hendak bertemu dengan orang Pekalongan. “Pak Hoegeng pasti menerima kedatangan saya!”.

Orang yang menunggu itu ternyata Hasan, teman main laying-layang Hoegeng ketika masih kanak-kanak. Begitu Hasan masuk, dan pintu tertutup, maka menyemburlah sumpah serapah yang hangat dan gembira: “Asu. Kowe bener-bener asu, ya. Gendheng bener, wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri.” (Maaf—Anjing. Kamu benar-benar anjing, ya. Gila amat orang Pekalongan bisa jadi menteri). Itulah yang disebut Hoegeng sebagai ‘gaya Pekalongan’, sebuah gaya budaya Jawa Pinggiran yang bisa disandingkan dengan gaya Jawa Timuran.

Yang menarik, tentu saja bila kedua orang berbudaya pinggiran bertemu. Alkisah, tak lama sesudah pengangkatannya sebagai menteri, Hoegeng menerima telegram dari dr.Soebandrio—anak wedana yang berasal dari Jawa Timur, yang juga diangkat sebagai menteri oleh Bung Karno. Telegram itu berisi ucapan selamat yang tak mungkin diceritakan pada bawahannya: “Diancuk (sialan!). Kowe diangkat pula jadi menteri!”.

Tak pelak, tulis seseorang di koran, menjadikan buku ini renyah dan enak dibaca.

***

Hoegeng kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) tahun 1940 pada usia 19. Sekolah inilah yang kemudian menghantarkannya pada profesi kepolisian—profesi yang membuatnya bergaul dengan berbagai pengalaman yang menarik. “Menjadi pejabat, apalagi penegak hukum, memang banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tak tahan godaan disuap; dan membuat pleidoi bahwa kekayaannya itu didapat karena pershabatan”.

Pada 1965 Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara—suatu wilayah yang sering disebut test case terberat di Indonesia. Sebutan itu terbukti betul. Begitu tiba di tempat tugasnya, Hoegeng harus menerima ucapan selamat datang yang unik. Ia menemukan rumah dinasnya penuh dengan barang-barang luks, kiriman seorang pengusaha Cina yang mengaku sebagai ‘Ketua Panitia Selamat Datang’

Tentu saja Hoegeng menolak sambutan unik itu. Namun, Cina tukang suap itu ternyata memang badung. Akhirnya karena sampai batas waktu yang ditetapkan barang-barang tersebut belum juga dikeluarkan, maka Hoegeng memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang-barang luks secara paksa. “Saya rasa perkenalan pertama itu memang mendebarkan,” aku Hoegeng.

Jaksa Agung Soeprapto, saat pamitan di Jakarta sebelum berangkat ke Medan, memang mengeluarkan pernyataan yang selalu terngiang-ngiang di kepala Hoegeng. “Anda ditugaskan memberantas penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun, pada akhirnya terserah jij sendiri. Apakah jij mampu bertahan, atau tak lebih dari pejabat yang harganya bisa dihitung: tiga, empat, enam bulan, atau setahun!. Banyak yang tidak tahan dan kami biasa dengar ejekan!”.

Hoegeng rupanya bukan termasuk pejabat yang bisa dihitung itu. Ia bersikap tegas. “…..Saya memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab. Maka keinginan saya yang pertama adalah menegakkan citra ideal polisi dan diri saya,” katanya.

Ia masih memegang prinsip itu hingga kariernya menanjak ke tangga yang paling puncak; sebagai Kapolri. Justru, pada masa itulah Hoegeng berhasil membongkar kasus Robby Tjahjadi—penyelundup mobil mewah kelas kakap, yang jadi salah seorang konglomerat tekstil di Indonesia.

Kasus itu merupakan kasus yang menggemparkan. Melalui modus operandi yang canggih, Robby Tjahyadi, yang hanya jebolan SMA, berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Diketahui, sebelumnya sekitar 3.000 mobil mewah lainnya sudah diselundupkan ke Indonesia.

Ia juga menggemparkan karena faktor lain. Kendati tim inti penyelundupan itu hanya tiga orang, tetapi penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan Kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun.

Tak lama sesudah terbongkarnya kasus Robby Tjahyadi, kepada wartawan Hoegeng menjanjikan lagi sebuah berita besar. Yakni, terbongkarnya kasus penyelundupan besar di Tanjung Priok. Sayang, sebelum janji itu terlaksana, Hoegeng menyadari kariernya di dunia kepolisian harus selesai sebelum masa jabatannya habis. Itu diketahuinya sejak ia diberi sepucuk surat. Isinya: ia didubeskan, mendapatkan tugas baru di Kerajaan Belgia.

Sejak awal Hoegeng sudah memilih. Ia menolak tugas baru tersebut. Setelah Pak Hoegeng berbicara dengan atasannya, Menhankam Panggabean, ia menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tawaran itu. “Lho, bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Pak Harto. “Saya tidak bersedia jadi Dubes, Pak,” jawab Hoegeng. “Tapi tugas apapun di Indonesia akan saya terima,” lanjutnya. Pak Harto menjawab lagi, “Di Indonesia tidak ada lowongan lagi, Mas Hoegeng”. Hoegeng pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja”. Mendengar itu Pak Harto terdiam, Hoegeng juga diam.

Tentu saja, dengan segera pemberhentian itu mengundang kontroversi. Apalagi penggantinya ternyata berusia lebih tua dibandingkan dirinya. Karena itu tak heran, setelah selesai menghadap Presiden, wartawan menberondongnya dengan pertanyaan olokan, “Apakah Bapak sedang diremajakan atau dipertuakan?” Hoegeng yang biasanya tangkas menjawab pertanyaan wartawan, kali itu harus kelabakan.

Banyak yang mengaitkan pencopotan Hoegeng dengan terbongkarnya kasus Robby. Ada pendapat, ia tidak disukai banyak pejabat. Soalnya Hoegeng membongkar kasus itu sebelum Bakolak bagian penyelundupan pimpinan Ali Said turun tangan. Padahal di pihak lain, Hoegeng sendiri sering merasa tidak sabar. Pada 1968 kepolisian menemukan banyak mobil selundupan lolos tanpa melalui prosedur yang sah. Tahun itu juga bahkan disita 4 buah Mercy mewah hasil selundupan. Anehnya, demikian kata Hoegeng, Kejaksaan Tinggi Jakarta lantas mendeponir perkara itu.

Selain masalah penyelundupan, Hoegeng juga dikenal karena kegigihannya untuk menguak kasus Sum Kuning yang melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi militer. Selain itu, Hoegeng yang memberlakukan peraturan wajib helm bagi pengendara kendaraan bermotor.

Selain berbagai pengalaman pribadinya mengabdi di kepolisian, buku ini juga memuat pandangan Hoegeng mengenai lembaga itu. Misalnya, ia memimpikan “pemulihan wewenang Polri”. Ia memimpikan peran kepolisian yang murni. Artinya, polisi tidak termasuk dalam unsur ABRI. Sebagaimana di negara lain, ia bermimpi suatu kali kepolisian langsung di bawah Presiden/Perdana Menteri atau Mendagri.

Ia berpendapat, secara prinsip ada perbedaan antara doktrin polisi dan militer. Yang pertama, tembak dulu, lalu perkaranya urusan belakang—sebab yang dihadapi militer dalam suatu perang jelas musuhnya. Sedang polisi, ‘jangan tembak, tetapi dudukkan perkara dulu’. “Ketika saya menyampaikan tanggapan saya demikian,” kata Pak Hoegeng, “Pejabat Presiden Soeharto tidak membantah”.

Ditanya bagaimana kriteria polisi yang ideal, Hoegeng menjawab, “Saya harapkan polisi bisa tetap lurus. Saya harapkan generasi muda polisi jujur”.

Meski sudah lama meninggalkan dunia kepolisian, ia masih sering menerima laporan tentang kondisi polisi. Laporan ini, tentunya hanyalah cermin kecil dari dunia kepolisian sekarang. Misalnya, masih ada orang yang ingin ujian masuk polisi, kok disuruh bayar macam-macam. “Menurut saya, hal seperti itu tidak boleh jadi. Dulu waktu saya masih dinas sebagai Kapolri, praktik macam itu memang ada, lalu saya ambil tindakan,” katanya.

Peluncuran Buku

Pada 5 Agustus 1993, Kamis malam, diluncurkan buku HOEGENG, Polisi: Idaman dan Kenyataan di Graha Purna Wira di Jln. Dharmawangsa III/2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kompleks polisi, kalau tak salah. Pihak yang mengundang ialah Aristides Katoppo, pimpinan Pustaka Sinar Harapan dan Aditya Hoegeng dari pihak Pak Hoegeng.

Hadir banyak tokoh pejuang Republik kita malam itu, antara lain Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Subadio Sastrosatomo, mantan Kapolri Awaloedin Djamin, Ketua LBH Adnan Buyung Nasution, Sayidiman Suryohadiprojo, Amartiwi Saleh, tokoh LBH dari Bandung, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto, Soehario Padmowirio yang pernah ditahan Orde Baru.

“Pesta sederhana,” kata Ali Sadikin, seperti acara nostalgia karena hadir rekan-rekan seperjuangan Hoegeng di kepolisian ataupun dalam kelompok Petisi 50. Kenyataan ini berbeda sekali ketika peluncuran buku Bang Ali beberapa waktu lalu.

“Dulu peluncuran buku saya dilakukan di sela-sela kesibukan kantornya Aristides, tidak seperti saat ini,” kata Bang Ali.

Tiap orang yang hadir dalam peluncuran buku itu memberikan kesannya. “Riwayat Hoegeng patut dipelajari semua orang,” ujar Aristides Katoppo memberikan alasan mengapa autobiografi Hoegeng diterbitkannya.

Menurut Aristides, buku autobiografi Hoegeng bukan hanya sekadar menceritakan pengalaman kiprah Hoegeng dalam dunia kepolisian, tetapi ada sesuatu di balik semua itu yang patut diketahui masyarakat. “Sikap dan moral Hoegeng, terasa kian langka untuk ditemukan,” kata Katoppo. Namun, Pak Hoegeng sendiri berkomentar, “Mudah-mudahan buku ini bisa jadi bacaan hiburan di kala senggang,”.

Sosok Hoegeng memang patut diteladani. Ia adalah sosok manusia langka di Indonesia yang kini tengah dilanda krisis multidimensi, begitu juga dengan krisis pemimpin yang jujur dan berdedikasi tinggi pada profesi. Kejujuran, sikap rendah hati yang dimiliki Hoegeng semasa menjadi Kapolri sungguh merupakan keteladanan yang sulit ditemukan di masa kini.

Mohammad Hasan, Kapolri yang menggantikan Hoegeng melukiskan, “Pak Hoegeng adalah orang yang nggak punya musuh. Semua orang senang padanya, hanya tempo-tempo dia keras kepala,” komentar Hasan.

Sedang Bang Ali, Ketua Pokja Petisi 50 mengomentari pasangan suami-istri Hoegeng dan Merry merupakan pasangan yang menyenangkan dalam berbagai pergaulan. “Dia teladan,” ujar Ali Sadikin.

Komentar senada dilontarkan tokoh hak asasi manusia, Adnan Buyung Nasution. “Dia seorang yang berjuang tanpa pamrih. Perbuatannya patut diteladani,” kata Buyung Nasution. Buyung mengutarakan, apa yang dulu dilakukan Hoegeng seharusnya bisa dicontoh. “Buat LBH, Hoegeng punya jasa yang luar biasa. Ia memberikan perhatian dengan memerintahkan kepada jajaran kepolisian untuk membantu LBH menegakkan hukum dalam berbagai kesempatan. Jadi, LBH dianggap Pak Hoegeng sebagai partner perjuangan polisi,” kata Buyung.

Kapolda Metro Jaya waktu itu Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto berucap, “Hoegeng memang polisi yang lurus dan jujur. Ketika jadi Kapolri, ia tidak suka kalau ada polisi yang neko-neko (macam-macam). Jika dapat laporan masyarakat, ada polisi yang melakukan pungli, beliau langsung memanggil polisi yang bersangkutan,” kata Hindarto yang ketika Hoegeng jadi Kapolri, Hindarto masih berstatus mahasiswa PTIK.

Yang saya ingat, selain Aristides Katoppo, Pak Hoegeng dan saya (juga mewakili Abrar Yusra yang bersikap malu-malu), ramai (dan tertawa terbahak-bahak) waktu Bung Subadio berbicara. Lupa lagi bagaimana awalnya, tapi yang terus terkenang adalah waktu Bung Subadio bicara menyinggung dua tokoh kita, yaitu Mochtar Lubis dan Soehario. Soebadio menunjukkan kegembiraannya dengan mengemukakan bahwa ia senang Mochtar Lubis dan Soehario hadi dalam kesempatan itu. Mengutip ucapannya yang pasti tidak tepat kata-katanya tapi serupa isinya, adalah bahwa “Saya gembira sekali Mochtar Lubis yang disebut kaki tangan CIA dan Soehario yang disebut kaki tangan KGB hadir bersama-sama dalam kesempatan ini,”. Gerr, orang-orang tertawa. “Seberapa benarnya cerita orang tentang kedua tokoh ini, saya tidak tahu,” kata Soebadio. “Tapi yang pasti adalah, kita mesti gembira, kedua tokoh pejuang ini sekarang sudah bersatu kembali,”. Memang waktu itu Soebadio sedang gandrung untuk menyatukan kembali semua potensi pejuang Indonesia kita yang pernah tercerai-berai disebabkan sengit antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kelanjutan hubungan baik antara Mochtar Lubis dan Soehario adalah bahwa buku-buku karya Soehario diterbitkan oleh penerbit “OBOR” pimpinan Mochtar Lubis.

***

 Yang tidak saya sadari waktu itu adalah munculnya Ibu Umi Kalsum, ibunda Pak Hoegeng, di atas kursi roda, hubungannya dengan satu kata yang ada di dalam buku. Ternyata adegan ini menjadi perhatian para wartawan, disebabkan tertera di dalam buku Pak Hoegeng itu sebagai caption foto Ibu Umi Kalsum—jadi bukan di dalam cerita pengalaman hidup Pak Hoegeng–, “Ibu saya almarhumah Umi Kalsum”.

Kesalahan ini entah pada siapa. Pasti bukan pada Pak Hoegeng jika ia membaca naskah itu secara lengkap, termasuk caption foto-foto yang ada di dalam naskah itu. Kesalahan itu pasti berada pada yang menetapkan teks caption foto-foto itu. Siapa dia? Siapa yang nyelonong meneriakkan 5 buah kata: “Ibu saya almarhumah: Umi Kalsum” di samping foto ibunda Pak Hoegeng itu? Yang pasti, saya mesti ikut bertanggung jawab. Walaupun itu bagi pihak yang biasa menyusun buku bisa dimaklumi, saya pribadi patut meminta maaf sebesar-besarnya kepada yang bersangkutan dan keluarga Pak Hoegeng. Kesempatan ini saya pergunakan sekarang untuk menyatakan itu.

Setelah saya sadar, saya mesti hati-hati sekali bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan buku: sesama penulis, tokoh yang ditulis, penerbit, percetakan. Namun, kesadaran ini tidak menyebabkan salah cetak hilang dari buku-buku kita yang terbit sekarang. Salah cetak di dalam buku-buku kita yang terbit sekarang ada saja, kalau tidak boleh dikatakan berjubel.

Sementara itu saya sudah mengadakan hubungan yang baik dengan Aristides Katoppo, pemimpin badan penerbit Pustaka Sinar Harapan. Dan dia tentu memperlihatkan kegembiraannya bahwa Pustaka Sinar Harapan dipercaya untuk menerbitkan buku tentang Pak Hoegeng. Ia tidak menarik biaya sesen pun dari penerbitan buku ini.

Pendek kata, semua pihak menaruh hormat kepada Pak Hoegeng, dan tahu bagaimana kedudukan Pak Hoegeng waktu itu.

Bagi keluarga Hoegeng saat peluncuran buku merupakan saat yang membahagiakan karena bertepatan dengan hari ulang tahun ke-91 ibunda Umi Kalsum Karyohatmojo. Sang ibunda, yang malam itu tampak gembira duduk di kursi rodanya.

Setelah kami serahkan buku itu kepada Pak Hoegeng, buku itu kemudian dipersembahkan kepada ibundanya. Selepas buku itu dari tangan, mantan Kapolri itu dengan hikmat memberi hormat dengan cara merangkapkan kedua tangannya di depan dada ke arah sang ibunda yang dicintainya, Umi Kalsum.

Oleh: Ramadhan K.H.

(Catatan ini ditulis oleh Ramadhan K.H. dan dikutip dari buku “Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang, April 2009)

“Gelombang Hidup” Ramadhan K.H.

* Sekelumit Riwayat Penulisan Autobiografi Soeharto dan Kehidupan Sang Maestro Biografi Indonesia.

Pada mulanya ia seorang penyair, belakangan merangkap sebagai wartawan, dan menulis roman. Kini dia dikenal sebagai perintis penulisan riwayat hidup tokoh dengan gaya penulisan roman. Dia satu-satunya penulis terbaik untuk penulisan jenis itu.

RAMADHAN K.H. Inilah nama yang kini telah menjadi semacam “merk” bagi kepercayaan orang. Kepercayaan yang “dipegang” oleh para pencinta buku sebagai jaminan bagi mutu karya-karyanya. Bukan itu saja. Belakangan, juga banyak tokoh masyarakat yang mempercayakan penulisan buku mengenai diri mereka kepada Ramadhan. Kepercayaan semacam itu, tiada lain, karena mereka telah membaca beberapa karya Ramadhan yang mereka nilai cukup baik dan memikat.

Di antara tokoh pelaku sejarah yang mempercayakan penulisan buku itu terdapat Presiden Soeharto dan Jenderal TNI (Purn) Soemitro. Buku mengenai gagasan dan kebijaksanaan Pak Harto terbit dengan judul Soeharto, Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya, sementara buku mengenai karir bekas Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) berjudul Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Kepercayaan yang sangat langka itu niscaya tidak diraih dengan mudah oleh Ramadhan.

Kepercayaan itu agaknya berkat jerihpayah Ramadhan yang sebelumnya telah menyelesaikan dua buah buku yang mendapat banyak pujian. Yaitu, Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981. 470 halaman); dan Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982, 322 halaman). Kedua buku itu bukan saja telah mengangkat nama Ramadhan sebagai penulis, tapi juga “mendongkrak” Penerbit Sinar Harapan (kini berganti nama menjadi Pustaka Sinar Harapan) sebagai penerbit buku-buku terpandang.

Meskipun kedua buku tersebut ditulis berdasarkan riwayat hidup seseorang, gaya penulisannya lebih tampil sebagai roman. Buku pertama berlatar belakang kisah-kasih seorang tokoh pergerakan nasional dengan seorang wanita cantik yang amat bijak. Buku itu menjadi perhatian banyak orang, sebab yang menjadi tokoh sentralnya ialah idola Bung Karno, yang tiada lain Inggit Garnasih, yang di masa muda berjasa mendorong semangat pemimpin bangsa itu, meskipun di masa tua nyaris dilupakan.

Selain judulnya yang sangat menarik, Ramadhan sendiri memang “tukang cerita” yang piawai. Lihatlah kalimat pertama pembuka roman yang sangat memikat dan romantis itu, gambaran yang amat tepat bagi seorang gadis Inggit: Perawakannya kecil. Sekuntum bunga mawar yang elok melekat di sanggulnya. Senyum yang menyilaukan mata. Ia berdiri di depan pintu masuk. Sinar setengah gelap. Bentuk badannya nampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang.

Layaklah bila eseis Saleh Iskandar Poeradisastra – yang mendorong Ramadhan menulis buku ini – dalam kata pengantar buku itu menyebut Ramadhan sebagai penulis yang tepat untuk menulis tentang Inggit yang disebutnya telah menjadi “pembina, penempa dan pembimbing seorang pemimpin besar”, sebab Ramadhan “bertolak dari simpati, yakni kekuatan yang merangkum dunia.” Ia juga menyebut buku ini bak “sepantun sesosok patung kecil mungil dengan citra Inggit Garnasih, tegak di sudut bangsanya”. Di tahun 1950-an, Poeradisastra banyak menulis esei sastra dengan nama samaran Boejoeng Saleh.

Mengenai buku ini, Poeradisastra juga menulis bahwa kisah-kasih yang dijalin Soekarno dengan Inggit Garnasih berjalin satu dengan perjuangan dan pengorbanan bagi bangsa dan tanah air. “Inggit bagi Soekarno adalah alter ego yang paling ideal, kewanitaan yang abadi,” tulisnya. Dan sekali lagi sebuah pujian tulus dari almarhum Poeradisastra: “Ramadhan KH menuangkan episode terindah Soekarno-Inggit itu di dalam sepotong puisi perjuangan, sebuah roman yang menggetarkan hati”.

Poeradisastra pula yang “mengejar-ngejar” Ramadhan untuk menulis riwayat hidup Dewi Dja. Nah, siapa dia? Hampir tak ada seorang pun generasi sekarang yang mengenal artis yang berjasa memperkenalkan bayi “Indonesia” ke dunia internasional ini. “Sri Panggung” perkumpulan sandiwara keliling Darbanella dari awal  abad ke-20 ini sempat melanglang eropa dan akhirnya menetap di AS. Di New York, tahun 1947, ia ikut mencari dukungan politik bagi kemerdekaan Indonesia, mendukung tim diplomasi yang beranggotakan para tokoh negarawan Soetan Sjahrir dan H.A. Salim.

Betapa cintanya Dewi Dja pada tanah air yang telah lama ditinggalkannya, diungkapkan oleh Ramadhan dengan memikat pada alinea terakhir buku itu: Airmataku menetes lagi. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar kepada sesuatu yang jauh dari padaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa! Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tapi senantiasa dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.

Bagaimana kisah lahirnya buku Anda yang pertama, Kuantar ke Gerbang dan Gelombang Hidupku?

Pertama-tama saya menulis Kuantar ke Gerbang. Ceritanya, pada suatu saat di tahun 1974, di Paris, saya membaca kisah cinta antara Ibu Inggit dengan Bung Karno di majalah wanita Femina. Saya tertarik karena tulisan itu bagus. Saya mengirim surat kepada penulisnya agar tulisan hanya empat seri itu dilanjutkan. Tapi saya tidak mendapat jawaban. Karena itu, saya lantas memutuskan untuk menuliskannya, sepulang saya dari Paris. Saya mendapat dukungan dari Boejoeng Saleh. Tapi ternyata saya mesti melakukan riset kepustakaan selama setahun lebih, disertai wawancara. Tapi itu tidak begitu sulit. Alhamdulillah, saya masih bisa wawancara dengan Ibu Inggit yang ketika itu sudah berusia 80-an.

Bahkan saya sempat pula memotretnya, dan dimuat di buku itu. Tapi beliau hanya bercerita sedikit, mengenai hal-hal yang diingatnya saja. Saya juga sempat wawancara dengan kedua anak angkatnya, yaitu Nyonya Asmara Hadi dan Nyonya Uteh. Almarhum Asmara Hadi itu kan sastrawan dan orang pergerakan juga. Mereka pernah satu rumah dengan Ibu Inggit. Bahkan saya dibantu benar oleh Nyonya Uteh, terutama cerita mengenai perjalanan Bung Karno, Ibu Inggit dan Nyonya Uteh dari Bengkulu ke Sumatera Barat melalui hutan. Waktu itu, tahun 1920-an, Bung Karno kan “dibuang” oleh Belanda ke Bengkulu. Malah Nyonya Uteh pula yang menuliskannya dengan tulisan tangan. Buku ini laku keras, sampai cetak ulang lima kali, setiap kali 5-10.000 eksemplar.

Berkat buku inilah, saya diminta Pak Harto – melalui Pak Dipo (Almarhum G. Dwipayana ketika itu Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekrtetariat Negara, dan Direktur PFN, Perusahaan Film Negara)  — untuk menulis buku Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Buku ini pula yang mengangkat Pustaka Sinar Harapan dari kelesuan—Itu pengakuan penerbitnya sendiri. Setelah itu, ketika saya tinggal di Los Angeles, saya dengar kabar bahwa ternyata Dewi Dja masih hidup dan tinggal di sana. Informasi itu saya peroleh dari Asrul Sani (sastrawan), D. Djajakusuma (sutradara) dan Boejoeng Saleh. Karena Dewi Dja yang sudah berusia 70-an itu sudah banyak lupa, sulit bagi saya menulis biografinya. Maka saya putuskan untuk menulis dengan gaya roman—dengan setting riwayat hidup dia.  Dia sangat senang. “Kalau kelak saya meninggal, saya senang kalau buku ini sudah selesai,” katanya.

Tapi karena pengetahuan umumnya, baik di masa dia masih jaya maupun mengenai hal-hal di sekitar dirinya, sangat lemah, maka saya mesti melakukan riset dan rekonstruksi. Dia tidak tahu di mana Turki, di mana Singapura. Untung, dia masih menyimpan dokumentasi seperti foto-foto. Sutradara Misbach Jusa Biran, yang mengelola dokumentasi film Indonesia di Sinematek banyak membantu saya. Dari sini saya tahu betapa besar perhatian Bung Sjahrir kepada para seniman, sebab ia menyadari betul peranan mereka. Dewi Dja adalah seniwati pertama yang ikut memperkenalkan Indonesia kepada publik Amerika di New York (1947). Dia duduk berdampingan dengan H. Agus Salim, Soetan Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo.

Bagaimana sampai Anda terpilih sebagai penulis buku mengenai Pak Harto?

Begini. Ketika itu, penerbit dan juga teman-teman yang lain bilang kepada saya, bahwa buku mengenai Ibu Inggit, Kuantar ke Gerbang, sangat laku, dan orang terpikat membacanya. Bukan saja karena tokoh sentralnya menarik, tapi juga orang senang membacanya dengan gaya bercerita, yaitu gaya roman. Begitu pula kisah mengenai Dewi Dja, Gelombang Hidupku. Kemudian, sewaktu saya di Jenewa, datanglah Pak Dipo menemui saya, minta agar saya menulis mengenai Pak Harto. Tapi ketika itu saya di Paris. Jadi Pak Dipo menemui istri saya. Lalu dia menelepon saya. Wah, saya grogi juga diminta menulis mengenai presiden. Saya katakana, “Nanti sajalah kalau saya pulang ke Jakarta”. Saya pulang ke Jakarta tahun 1984. Sebelum saya berbicara dengan Pak Dipo di Jakarta, saya sudah bertemu dengan teman sekolah dan teman seperjuangan di awal revolusi bersenjata, di Front Sukabumi, yaitu Martalegawa.

Kami berbicara mengenai Pak Alex Kawilarang dan mengenai pengalaman ketika berjuang dulu. Bagi kami, yang ketika itu masih remaja, masih SMP, mendengar nama Pak Alex saja sudah terkagum-kagum dan bersemangat untuk bertempur. Ketika itu Pak Alex adalah komandan di kalangan para pejuang di wilayah Priangan Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi). Saya tidak melanjutkan menjadi tentara, tapi Pak Martalegawa kemudian menjadi anak buah Pak Alex. Maka saya pun menemui Pak Alex (yang ketika itu masih hidup, juga ketika buku itu sudah diluncurkan), untuk meyakinkan pentingnya biografi. Mula-mula beliau tidak mau, tapi akhirnya bersedia. Jadi, inilah buku biografi satu-satunya atas inisiatif saya, yang ditulis sebagai biografi, bukan dengan gaya roman. Yang lain merupakan permintaan dari tokoh yang bersangkutan.

Yang sangat membantu saya ialah ingatan Pak Alex yang masih bagus. Beliau masih ingat semua nama-nama orang, bahkan juga nama-nama jalan dan nama-nama desa tempat beliau dulu bergerilya. Desa dan jalan-jalan di Sukabumi selatan dan Cianjur selatan waktu revolusi bersenjata. Ketika sedang mengerjakan bukunya Pak Alex itulah Pak Dipo datang ke rumah untuk meminta saya menulis buku mengenai Pak Harto. Yang teringat oleh saya, ketika akan meninggalkan rumah, dengan tersenyum Pak Dipo bilang, “Saya tidak mau dengar Pak Ramadhan tidak bersedia menulis buku ini”. Buat saya, ucapan itu sangat impresif karena selain saya baru saja kenal juga karena dia itu kan jenderal, dan salah seorang pembantu Pak Harto yang terdekat.

Ketika itu kan sudah ada bukunya O.G. Roeder, The Smiling General?     

Ya. Tapi gaya penulisan buku saya dengan bukunya Roeder, lain. Setelah saya berdiskusi dengan teman-teman, dan sudah tentu dengan istri saya, maka ketika bertemu lagi dengan Pak Dipo segera saya katakana bahwa saya bersedia menulis buku mengenai Pak Harto itu, tapi dengan syarat, as told to, seperti halnya Cindy Adams menulis mengenai Bung Karno, Sukarno, An Authobiography, as told to Cindy Adams (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan Mayor Abdul Bar Salim, PT Gunung Agung, Jakarta, 1966). Setelah berkali-kali, akhirnya Pak Harto setuju pula dengan gaya penulisan seperti itu. Tapi saya juga mengajukan beberapa syarat agar pekerjaan saya lancar tanpa gangguan, dan bukunya bagus sementara masyarakat juga tertarik.

Pertama-tama, karena saya hanya merekam saja segala sesuatu yang diceritakan oleh Pak Harto, tentu saja saya juga harus mengajukan beberapa pertanyaan. Dalam hal ini, janganlah ada pikiran-pikiran politis mengapa saya mengajukan pertanyaan seperti itu, apakah ada latar belakang atau motif tertentu di belakangnya, dan sebagainya. Dan mengapa judulnya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya –karena saya tidak bisa mengorek secara langsung bagaimana isi hati atau perasaan Pak Harto sebagai subyek tulisan saya. Sangat sulit menampilkan profil pribadi Pak Harto secara utuh, karena ada jarak. Lagi pula saya hanya sempat wawancara dua kali, setiap kali hanya dua jam. Pertama kali di Cendana, satu kali lagi di Tapos.

Di antara kedua pertemuan dan setelah pertemuan kedua itu, setiap Jum’at saya mengajukan pertanyaan tertulis yang dibawa oleh Pak Dipo untuk disampaikan kepada Pak Harto. Saya mengantarkan pertanyaan itu ke kenatornya di P.F.N. Pertanyaan itu dibacakan oleh Pak Dipo, dijawab oleh Pak Harto, dan direkam. Buku itu saya garap selama dua tahun, sesuai dengan persetujuan Pak Harto sendiri. “Tidak usah cepat-cepat, tapi ada batas waktu. Ya, dua tahunlah”, kata Pak Harto. Sebab kalau mau cepat-cepat, saya kan grogi. Saya juga minta bahan, buku-buku dan kliping-kliping dari Pak Dipo. Setiap bab dikoreksi sendiri oleh Pak Harto. Saya tahu bahwa Pak Harto membacanya dari A sampai Z, karena beliau menulis koreksian dan tambahan itu di balik naskah.

Koreksian, atau tambahan penting dari Pak Harto, antara lain, menyangkut tiga nama yang “mendapat kesempatan” untuk tampil menjadi wakil presiden, yaitu Soedharmono, Moerdiono dan Ginandjar Kartasasmita. Jadi ada tiga nama yang disebut. Tapi akhirnya kan Pak Dharmono yang tampil. Itu yang terpenting. Yang lain koreksian kecil-kecil. Untuk mendekati kebenaran yang obyektif, saya sebagai wartawan juga berulang kali menanyakannya. Tetapi jawaban beliau tetap sama. Misalnya, mengenai soal “petrus” (penembakan misterius terhadap sejumlah penjahat), juga soal Serangan Oemoem 1 Maret 1948 di Yogya. Tapi karena gaya penulisannya as told to, maka saya tidak bisa mendiskusikannya. Hanya merekam dan mentranskip apa adanya saja.

 ***

KARIR RAMADHAN Kartahadimadja—begitu kepanjangan namanya; sementara panggilan akrab di kalangan keluarga terdekatnya, Atoen—sudah menonjol sejak tahun 1950-an. Ketika itu ia telah dikenal sebagai penyair. Kumpulan puisinya, Priangan Si Jelita, mendapat penghargaan pertama Badan Musyawarah Nasional Indonesia (1957). Bisa dimaklumi, sebab minatnya pada sastra sudah terpupuk sejak zaman Jepang berkat bimbingan kakaknya, Almarhum Aoh Kartahadimadja yang juga sastrawan. Mula-mula menulis puisi dan cerita pendek, belakangan ia menulis novel.

Ramadhan lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 16 Maret 1927. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, ia baru berusia 18 tahun. Dan seperti layaknya para pemuda remaja kala itu, ia ikut pula masuk-keluar hutan dan desa, bergerilya mempertahankan tanah air. Ia bergabung dengan sebuah lascar rakyat di Front Sukabumi. Tapi karir militernya ini tidak dilanjutkannya, karena ia lebih tertarik menjadi diplomat. Maka, lima tahun kemudian, ia pun masuk Akademi Dinas Luar Negeri yang ketika itu dikenal dengan singkatannya, ADLN.

Bukan semata-mata sebagai pengarang, Ramadhan juga dikenal sebagai wartawan dan redaktur beberapa majalah politik dan kebudayaan. Beberapa diantaranya, Siasat, Siasat Baru (1950-an), Kisah (ini majalah khusus cerita pendek, 1960-an), dan harian Kompas (1970-an), serta majalah kebudayaan pimpinan budayawan Ayip Rosidi , Budaya Jaya (1970-an). Sebagai wartawan kantor berita Antara (selama 13 tahun), ia sempat meliput Olimpiade di Helsinki dan Asian Games di New Delhi. Meski pernah pula melukis, ia lebih menonjol sebagai sastrawan.

Selain Priangan Si Jelita yang mendapat hadiah BMKN (1957), ada tiga buah novel karya Ramadhan yang juga mendapat penghargaan, yaitu: Royan Revolusi (hadiah pertama Ikapi/Unesco, 1968), Kemelut Hidup dan Keluarga Permana (hadiah Dewan Kesenian Jakarta, 1975 dan 1976). Kumpulan puisi Priangan Si Jelita dan novel Royan Revolusi telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis (1968), sementara Kemelut Hidup difilmkan oleh sastrawan dan sutradara Asrul Sani.

Perjalanannya ke luar negeri, Eropa dan AS, selain menambah pengalaman ternyata juga membuahkan karya-karya sastra. Misalnya ketika ia mendapat undangan Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking, Yayasan Kerjasama Kebudayaan) untuk berkunjung ke Negeri Belanda dan beberapa Negara Eropa Barat. Akan tetapi Ramadhan rupanya lebih tertarik pada sastra Spanyol. Maka ia pun memutuskan untuk menetap di “negeri matador” itu selama setahun (1953-1954). Sebab, kebetulan istrinya yang diplomat itu (Prustine, dengan panggilan kesayangan Tines, wafat 1990) juga bertugas di sana.

Dan di sana Ramadhan tak tinggal diam. Ia mempelajari bahasa dan sastra Spanyol . Dan hasilnya, lahirlah tiga buah buku terjemahan karya sastrawan besar Spanyol, Frederico Garcia Lorca: Romansa Kaum Gitana (kumpulan puisi yang sempat terkenal di tahun 1960-an), dan dua sandiwara yang beberapa kali dipentaskan oleh Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1960-an), yaitu Rumah Bernarda Alba dan Yerma.

Ketika menemani istrinya yang bertugas sebagai diplomat di Paris, Ramadhan tetap kreatif. Ketika itulah lahir antologi sejumlah puisi Indonesia dalam dua bahasa, Indonesia dan Prancis, berjudul Anthologie Bilingue de la Posie Indonesie Contemporaine. Ramadhan memang selalu mengikuti istrinya yang selama beberapa tahun ditugaskan di Jenewa, Madrid, Paris, Los Angeles. Ketika pulang ke Jakarta, di tengah kesibukannya sebagai Direktur Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta (1970-an), lahir pula novelnya Ladang Perminus.

Omong-omong, bagaimana teknik Anda menulis, apakah sebelumnya menyusun rancangan dulu?

Karena saya bertolak dari novel, maka saya terlebih dulu menyusun pointers yang menyangkut urutan kejadian. Semacam scenario. Agar supaya setting-nya tepat, sesuai dengan kejadiannya. Jadi alurnya enak seperti cerita novel. Dan kebanyakan, saya memulai bercerita mengenai hal-hal yang menarik di sekitar tokoh yang menjadi subyek cerita. Milsanya buku mengenai Pak Harto itu, adegan yang pertama ialah prestasi Pak Harto yang paling unggul di dunia internasional – yang kebetulan ketika itu sedang menjadi berita—yaitu sewaktu Pak Harto mendapat penghargaan dari PBB mengenai keberhasilan swasembada beras. Dengan begitu saya berharap pembaca terpikat.

***

 DI USIANYA yang sudah lebih dari setengah abad, kini Ramadhan masih menulis terus. Setelah biografi A.E. Kawilarang – tokoh gerilya yang dikaguminya sejak ia remaja – berjudul A.E. Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih, dari tangannya meluncur dua buku mengenai bekas Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin: Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977, dan sebuah buku yang bersumber dari guntingan pers, Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab. Sebelumnya ia diminta menulis mengenai Jenderal (Pol) Hoegeng, dan konglomerat Soekamdani S. Gitosardjono. Proses penulisan buku Soekamdani cukup lancar, selesai hanya dalam waktu enam bulan karena pemilik Hotel Sahid itu tak segan-segan juga ikut membantu mencari bahan. Katanya, ia malah sempat tiga malam tidak tidur untuk mencari bahan.

Ramadhan kini memang laris, banyak orang minta kepadanya untuk menulis Sjamaun Gaharu, tokoh militer yang berperan besar dalam perjuangan bersenjata di daerah Sumatera Utara dan Aceh, antara 1945-1950-an. Tapi Ramadhan sebenarnya tidak punya target untuk menulis biografi atau otobiografi tokoh-tokoh. Sebab, katanya, “saya lebih mengutamakan menulis novel”. Karena mulai banyak orang memintanya menulis biografi, sementara ia lebih cendrung menulis roman, ia pun mendidik kader dan bertindak sebagai pembimbing. Misalnya Abrar Yusra, yang bersama Ramadhan menulis buku mengenai Jenderal (Pol) Hoegeng.

Juga penyair Hamid Jabbar diajak membantu menulis biografi H.M. Th. Gobel, tokoh wiraswastawan Indonesia yang terkenal itu. Ia juga mengajak wartawan majalah Mutiara  dengan penulis cerita pendek, Ray Rizal. Penulis muda lainnya ialah Atang, wartawan Mangle, majalah berbahasa Sunda yang terbit di Bandung. Dia membantu Ramadhan menulis buku mengenai Didi Kartasasmita, tokoh militer di akhir masa pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian menjadi salah seorang TNI. “Ketokohan Pak Didi ini menarik, karena dia bersama kawan-kawannya adalah bekas KNIL yang pro Republik,” ujar Ramadhan. KNIL (Koninkelijke Nederlandsche Indie Legere) adalah kesatuan tentara Belanda yang terdiri dari pribumi.

Dengan begitu, selain Ramadhan tetap dapat memusatkan perhatian pada penulisan novel, ia juga dapat mendidik kader penulis biografi. Bukan hanya itu, sejak lama ia juga mengajak penyair Soegiarta Sriwibawa sebagai editor naskahnya. Tugasnya, selain memperbaiki bahasa dan ejaan, tentu juga memeriksa kembali kalau-kalau ada adegan atau hal-hal lain yang tumpang-tindih. “Saya senang dan cocok dengan dia sebagai editor. Kalau saya sendiri yang memeriksa atau membecanya kembali kan jenuh,” kata Ramadhan.

Kini ia tengah menyiapkan novel mengenai wanita (tapi judulnya belum ada), diillhami oleh almarhum istrinya. Adalah Tines, istri, yang senantiasa menyiramkan spirit kepada sang suami tercinta dalam menulis. “Dialah pula editor pertama buku-buku saya; orang pertama yang membaca tulisan-tulisan saya,” kata Ramadhan. Dari Tines, yang wafat tahun 1990 itu, Ramadhan mendapat dua putera: Gilang Ramadhan, kini berusia 35 tahun (drummer terkenal), dan Gumilang Ramadhan, 32 tahun, yang lebih suka mengurusi manajemen musik. Sekarang, Ramadhan ditemani oleh Salfrida Nasution. Istri tercinta yang dinikahinya pada bulan Januari 1993 ini masih dari kalangan “satu kampus”, yaitu Departemen Luar Negeri. Dan menurut Ramadhan, penyair romantis Priangan Si Jelita ini, ia tercinta adalah “sang pembawa rezeki”.

***

Anda begitu produktif. Bagaimana Anda membagi waktu antara menulis dan mengurus rumah tangga?

Saya merasa sangat berbahagia mendapat kesempatan luas dan bebas untuk menulis, terutama karena bantuan dan pengertian almarhum isteri saya, Tines. Kalau ia bertugas di luar negeri, maka saya bebas menggunakan waktu sepenuhnya untuk menulis. Saya didukung sepenuhnya, karena ia juga mengerti sastra. Dia kan studi sastra Rusia. Ia selalu berkata, “Kamu kan bercita-cita jadi penulis. Jadi jangan mengerjakan yang lain-lain, menulis saja”. Jadi saya tidak usah memikirkan ekonomi rumah tangga. Ini dukungan yang luar biasa. Dialah yang pertama kali membaca tulisan-tulisan saya. Dan dengan istri saya yang sekarang, Salfrida Nasution, saya sebagai penulis, alhamdulilhah, juga selalu mendapat keberkahan dari Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rezeki. Maka boleh dibilang, dia ini pembawa rezeki. BSH.

(Dikutip dari majalah bulanan Berita Buku Edisi 53 Tahun VII September 1995, dengan sedikit pengubahan pada judul)


Jumat, 22 Juni 2012

Ramadhan KH: ”Saya Pesimistis dengan Kehidupan Sosial Politik”

RUMAH itu tidak terlalu besar, tetapi cukup mapan untuk ukuran hunian di ibu kota Jakarta. Membayangkan namanya yang sohor, memang bisa keliru jika hunian di bilangan Bintaro Jakarta Selatan milik Ramadhan K.H. Orang yang pernah menguliti jengkal demi jengkal kisah hidup seorang kepala negara ”paling sukses”, Soeharto, mestinya menempati rumah mewah di jalan protokol yang bernilai tinggi. Namun, itulah wartawan, sastrawan, dan penulis yang ideal: Ramadhan K.H.

Ketika rezim Orde Baru mulai merebakkan korupsi, kolusi, dan nepotisme ia bersuara lantang dengan dua karya sastra, yakni Ladang Perminus (1989), novel yang mengkritik tajam perilaku korup orang-orang yang mengelola Pertamina. Yang kedua, ”Enclave” (1997), cerpen yang membeberkan penguasaan tanah di Indonesia oleh orang-orang kaya dari luar negeri yang berkolusi dengan pejabat pemerintah daerah.

Pada hari ulang tahunnya ke-76, bagaimana seorang penulis empat zaman memandang hidupnya? Memandang Indonesia dalam kekinian? Berikut petikan wawancara dengan penulis buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, beberapa hari lalu.

Hikmah apa yang Anda peroleh dalam perjalanan hidup dan menggeluti dunia tulis-menulis?

Bahwa saya sudah punya dua anak dan mereka kelihatan baik-baik. Saya punya dua anak itu dalam keadaan dengan profesi saya sebagai penulis. Dan kalo penulis umumnya kan tidak banyak yang bisa hidup makmur. Paling-paling sederhana.

Empat rezim kepemimpinan Indonesia telah Anda lalui, bagaimana Anda memandang perjalanan bangsa ini?

Dibandingkan dengan waktu lampau, zaman permulaan revolusi, Orde Lama, dan Orde Baru, keadaan para pemimpin sekarang lebih parah. Dulu semasa Orde Lama KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) tidak separah sekarang.

Karya-karya Anda memberontak dan protes terhadap KKN, bagaimana itu bisa dituangkan?

Ada yang korupsi, tetapi kecil-kecilan. Itu sudah saya tuangkan dalam buku saya Royan Revolusi. Saya sudah melukiskan kejadian itu pada zaman tahun 50-an. Terus, berhasil lagi saya melukiskan Ladang Perminus pada zaman Orde Baru. Sekarang, baik terasa maupun dari bacaan, keadaannya (korupsi) lebih parah.

Lalu, sikap Anda sebagai penulis?

Sebetulnya saya sekarang dalam keadaan yang amat pesimistis walaupun otak saya mengatakan itu tidak boleh. Tapi sesungguhnya saya punya perasaan pesimistis benar dengan keadaan. Terutama keadaan kehidupan social politik.

Tetapi, saya tahu pikiran saya seperti itu tidak boleh. Jadi, saya suka mencari teman-teman atau kenalan-kenalan yang masih optimis supaya saya mendapatkan perlawanannya terhadap perasaan pesimistis itu.

Fenomena apa yang Anda tangkap dan kemudian terlukis dalam Royan Revolusi ketika itu?

Umum saja. Tapi ya latar belakangnya korupsi dan moral. Tapi, dibandingkan dengan sekarang, tampaknya sekarang lebih merajalela. Menurut saya, saya berhasil merekam sejarah sosial kita.

Apa kejadian sebenarnya di balik karya-karya novel yang Anda tulis?

Boleh dibilang itu kenyataan sebenarnya. Maka, saya angkat itu untuk dijadikan cerita fiksi yang sebetulnya latarbelakangnya kenyataan. Banyak yang begitu dari geneari saya. Pramudya, Mochtar Lubis, begitu. Dan lain-lain.

Tentu tidak mudah menyingkap kebenaran pada zaman Orde Baru, suka duka dalam proses penulisan dan risiko yang Anda alami?

Ah, saya tidak peduli waktu itu. Ladang Perminus juga sekian tahun untuk bisa terbit. Berputar-putar … putar … putar …. Tertahannya banyak. Barangkali ada enam tahun lebih. Saya lupa lagi. Lama sekali. Prosesnya kan kalo sudah mengendap dalam diri saya, saya tuangkan dalam tulisan, saya kirimkan ke majalah, dimuat, udah. Tapi saya tidak menghitung keadaan. Masa bodo keadaan. Mau apa-apa saya tidak risau. Tidak takut.

Anda mendapat tekanan atau teror setelah Ladang Perminus terbit?

Satu kali yang telepon ke rumah. Orang itu bilang ”Jangan berani-berani menulis begitu” dengan suara keras. Saya juga tidak jawab. Toh sudah terbit, ya udah. Itu terjadi setelah buku terbit.

Adakah sisi lain (yang mungkin negatif) tentang kisah autobiografi yang Anda tulis lalu dijadikan karya sastra?

Belum. Tapi saya diperkaya dengan menulis buku autobiografi orang. Pengetahuan saya diperkaya. Jadi wawasan saya bertambah.

Sebagai penulis biografi banyak tokoh Indonesia, pertama kali wawancara dengan Presiden Soeharto kesan apa yang Anda tangkap?

Ya, lancar-lancar saja. Yang mengagetkan adalah pada suasana yang amat menakutkan, sebagaimana perkataan orang-orang tentang Soeharto, saya sempat takut. Tapi begitu saya hadapi ternyata tidak. Justru ada senyum, basa-basi, permulaannya. Orang lain pada waktu itu banyak yang takut. Saya sebelumnya sudah takut untuk diajak itu (menulis autobiografi Soeharto). Malas. Wawancara pertama berlangsung di Jalan Cendana.

Apa yang Anda tanya?

Berurut mulai dari kelahiran. Wawancara berlangsung sekitar dua jam. Lalu, setiap minggu kemudian saya ajukan pertanyaan saya lewat G. Dwipayana. Dari dia, saya dapatkan jawabannya.

Dalam hal menulis autobiografi, tentu banyak koreksi, bahkan kisah of the record. Bagaimana Anda menyiasati, terutama kisah Pak Harto?

Tidak ada. Kan saya tidak selalu adu-hadapan. Hanya dua kali adu-hadapan. Satu kali permulaannya, kedua kali di Tapos, hampir dua jam. Walaupun sudah ada rekaman, boleh dibilang baru permulaan sekali.

Bagaimana hubungan Anda dengan Soeharto sebelum dan sesudah Anda menulis autobiografinya? Dan sebelum atau sesudah Soeharto menjabat presiden?

Enggak. Saya tidak kenal dia.

Sejauh mana Anda ”memperlakukan” kisah autobiografi Soeharto itu sebagai bagian dari kelengkapan episode sejarah Indonesia?

Bagaimanapun, dia pernah berkuasa lama. Buku itu yang menjadi bahan studi rang-orang di luar negeri. Buku itu yang antara lain dipakai peneliti tentang Indonesia di luar negeri. Buku itu selalu disebut-sebut.

Oleh: Zulfikar Fu’ad

(Wawancara khusus Zulfikar Fu’ad dengan Ramadhan K.H. di kediaman Kawasan Bintaro, Jakarta Selatan medio Oktober 2002, diterbitkan harian Lampung Post-Media Group pada Minggu 30 Maret 2003)

Berguru kepada Ramadhan K.H.

SEJAK kecil saya suka membaca. Membaca koran, buku, majalah, atau bacaan apa pun yang menantang dan menggerakkan pikiran. Namun—ini sebaiknya jangan ditiru—saya tidak suka membaca buku pelajaran sekolah atau buku komik, sebagaimana anak-anak pada umumnya. Itulah sebabnya, di sekolah saya tidak menonjol, baik dari segi prestasi belajar maupun kegiatan ekstrakurikuler.

Yang saya baca kebanyakan justru konsumsi orang dewasa yang termasuk kategori bacaan ”berat” seperti sejarah, politik, dan ekonomi bisnis. Kecenderungan ini ternyata ”berbahaya” karena membuat saya menjadi orang serius dan cepat dewasa sebelum waktunya. Saya menjadi penyendiri, introvert, dan suka kesunyian.

Menginjak masa SMA, saya makin sadar, dari sekian banyak bacaan yang saya baca, yang paling saya gemari adalah membaca profil tokoh di surat kabar dan buku biografi. Kehidupan, perjuangan, dan pemikiran para tokoh nasional dan internasional sangat menginspirasi dan menggerakkan pikiran saya.

Dari hanya membaca, kemudian berkembang hobi saya membuat kliping profil tokoh yang muncul di surat kabar. Kebiasaan baru pun bertambah dengan kegiatan mencatat peristiwa yang dialami tokoh-tokoh Indonesia dan luar negeri dalam buku harian.

Di usia dewasa, hampir setiap hari saya membaca buku biografi, baik yang ditulis oleh penulis Indonesia maupun luar negeri. Saya banyak membaca buku biografi karya penulis-penulis besar seperti Rosihan Anwar, Muhammad Hatta, Julius Pour, A. Makmur Makka, Ramadhan K.H., Michael H. Hart, Edward D. Said, Lambert Giebels, Robert Slater, John D. Legge, Alex Haley, M.A. Sherif, dan Riz Khan. Dalam setiap kesempatan, saya menuliskan catatan tentang kehidupan para tokoh dalam buku harian.

Singkat kata, di kemudian hari, sekitar tahun 2002, saya mendapat kepercayaan dari seorang tokoh untuk menuliskan riwayat hidupnya dalam bentuk buku biografi. Perjalanan hidup seorang tokoh daerah menjadi artis penyanyi yang kemudian populer di era 80-an dan mencapai puncak justru di panggung politik setelah terpilih menjadi kepala daerah. Ia berjasa memopulerkan lagu daerah dan lagu melayu ke tingkat nasional di TVRI sejak era tahun 80-an.

Jujur saja, saya sempat bingung ketika menerima tawaran itu. Saya tidak cukup memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri saya. Dari tinjauan kapasitas pribadi, tidak ada alasan yang cukup bagi saya untuk menulis sebuah biografi. Saya sadar bahwa menulis buku biografi jauh berbeda dengan menulis berita untuk surat kabar, terutama sekali dari sisi proses kreatif penulisan serta pendalaman data kehidupan dan pemikiran tokoh.

Meski demikian, saya tidak lantas menjadi patah semangat. Karena saya ingin mempersembahkan yang terbaik buat buku biografi pertama yang akan saya tulis, maka saya putuskan lebih banyak belajar, membaca berbagai buku biografi, meneliti dan mempelajari proses penulisan biografi, serta berusaha mendapatkan bimbingan dari penulis biografi yang berpengalaman.

Dalam pikiran saya saat itu, satu-satunya cara menjadi penulis terbaik adalah berguru kepada penulis besar dan ternama. Minat yang tinggi untuk belajar menulis biografi membuat pikiran dan waktu saya ketika itu terkuras mencari cara: bagaimana bisa berguru tentang penulisan biografi kepada penulis biografi mumpuni di Indonesia. Siapa yang bersedia mendidik dan melatih saya?

Saya mendiskusikan hal itu dengan Hery Wardoyo, seorang rekan jurnalis. Kepada saya, ia merekomendasikan satu nama: Ramadhan K.H. Ia menyarankan saya berguru kepada Ramadhan K.H. atas pertimbangan bahwa beliau adalah sastrawan besar, penulis besar, penulis biografi paling produktif dan terkemuka di Indonesia, dan—menurut informasi—beliau sangat senang mendidik penulis-penulis muda seperti saya.

Nama Ramadhan K.H.dalam benak khalayak Indonesia memang identik dengan biografi. Pada mulanya ia adalah seorang penyair, yang kemudian menjadi wartawan dan penulis roman. Belakangan, ia dikenal sebagai perintis penulisan buku biografi dengan gaya penulisan roman. Bahkan, sejarah mencatatnya sebagai satu-satunya penulis terbaik Indonesia untuk jenis penulisan roman biografi.

Tak seorang pun dapat memungkiri, Ramadhan K.H. adalah penulis biografi Indonesia yang paling produktif pada abad ini. Setidaknya kisah hidup 30 orang tokoh terkemuka Indonesia sudah ditulis oleh Ramadhan. Mulai dari presiden, pengusaha, pejabat, jendral, hingga tokoh daerah, ia tulis dengan dengan gaya memikat, menyentuh, inspiratif dan berwarna.

Karya biografi Ramadhan yang semuanya ditulis dengan pendekatan orang pertama (autobiografis), memikat, dan menyejarah, antara lain: Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno, Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella, Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977, dan Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Biografi yang ditulisnya menjadi rujukan banyak orang, baik dari dalam dan luar negeri. Bukan hanya karena nama besar tokoh yang ditulis atau peristiwa penting yang terkait tokoh tersebut, tetapi lebih karena model penulisan Ramadhan yang memikat. Hal yang membedakan karya Ramadhan dengan penulis biografi lainnya.

Setelah membaca profil Ramadhan K.H. di sejumlah media, saya menarik kesimpulan bahwa rekomendasi rekan jurnalis itu dapat dipertanggungjawabkan dan layak diikuti. Akhirnya, saya bertekad mendapat kesempatan berguru kepada sang Maestro Biografi Indonesia itu: Ramadhan K.H.

Tetapi, sebersit keraguan muncul dalam benak saya. Apakah mungkin saya berguru kepada Ramadhan K.H.? Apakah beliau berkenan mendidik dan melatih saya menulis biografi? Bagaimana cara dapat bertemu beliau?

Terlintas dalam pikiran saya, tentu saja tidak mudah bertemu seorang sastrawan dan penulis besar sekaliber Ramadhan K.H. Pasti beliau sangat sibuk dan tidak mungkin bersedia menerima saya yang hanya ingin belajar, dan jelas-jelas akan mengganggu kesibukannya. Apalagi, saya tidak akan mampu membayar guru privat seistimewa beliau.

Beruntung saya kenal dengan Ebet Kadarusman (alm), artis presenter yang pada era 90-an akrab disapa pemirsa di stasiun televisi dalam acara bertajuk ”Salam Canda”. Kebetulan, Kang Ebet menjadi narasumber wawancara untuk buku pertama yang saya tulis. Dari Kang Ebet-lah saya jadi banyak tahu tentang Ramadhan K.H.

Bahkan, saya sangat terbantu ketika Kang Ebet secara khusus menelepon Ramadhan K.H. untuk menyampaikan minat saya yang tinggi berguru menulis biografi kepada beliau. Gayung pun bersambut. Di seberang sana, Ramadhan menyatakan bersedia membimbing dan melatih saya. Ramadhan mengundang saya berkunjung ke rumahnya di Kawasan Bintaro. Undangan itu saya sambut dengan gairah menggebu dan tampaknya impian menjadi penulis biografi bisa jadi kenyataan. Pintu peluang dan kesempatan sudah terbuka lebar-lebar buat saya.

Tidak membutuhkan waktu lama, beberapa hari setelah undangan itu, tepatnya 2 Juli 2002, bersama Supriyanto, rekan wartawan, saya mengunjungi Ramadhan K.H. di kediamannya Jalan Puyuh Timur, Kawasan Bintaro Jaya, Sektor 5, Jakarta.

Ramadhan menyambut kami dengan penuh hangat. Saya menyampaikan keinginan berguru kepada beliau dan tanpa ragu beliau menyatakan persetujuannya. Ia membuka akses dan memberi waktu memadai buat kami yang ingin belajar menulis biografi. Dialog yang sangat bernilai tentang pelajaran menulis biografi pun berlangsung seru.

Kesimpulan saya saat itu, ternyata menulis biografi itu tidak mudah, bahkan boleh dibilang tidak semudah seperti seorang jurnalis membuat berita wawancara khusus dan profil tokoh untuk media cetak. Menulis biografi adalah menulis kehidupan, oleh karena itu banyak hal yang harus dimiliki oleh seorang penulis biografi.

Begitulah, sejak hari itu, saya resmi menjadi murid dan Pak Ramadhan juga resmi menjadi guru. Jiwa mendidik ternyata sangat mendarah daging dalam diri beliau, wajar jika telah banyak melahirkan penulis-penulis muda yang berbakat, produktif, dan terkemuka. Sebut saja misalnya Ratih Poeradisastra, Tatang Sumarsono, Abrar Yusra dan Ray Rizal.

Dengan penuh kesabaran, beliau menjawab pertanyaan kami satu per satu. Di lain kesempatan, beliau dengan teliti mengoreksi naskah buku biografi yang kami tulis dan menuntun kami menuliskannya dengan cara yang lebih baik. Pelajaran tentang teori dan praktik menulis biografi itu berlangsung dengan intens, sarat pencerahan, padat pengetahuan, dan melahirkan energi menulis yang luar biasa buat saya.

Ramadhan K.H. adalah pribadi unik. Orang Sunda yang memilih hidup sebagai biograf, pencatat dan perekam sejarah, tetapi selalu menjaga jarak agar tidak menjadi penafsir sejarah. Sudah menjadi sifat dasarnya, Ramadan K.H. selalu menghindari konflik, baik dengan pribadi maupun dengan institusi. Sekalipun demikian, pada saat-saat tertentu, ia tidak dapat menghindar untuk tidak menuliskan fakta-fakta sejarah dalam bentuk novel, yang sempat membuat penguasa gerah.

Setiap karyanya merupakan perpaduan tiga kapasitas intelektual dalam diri satu orang: wartawan, sastrawan, dan sejarawan. Integrasi ketiganya, ditambah totalitas dan pengalaman hidup, melahirkan puluhan karya biografi yang unik, memikat, dan menyejarah.

Hal mendasar yang diwariskan Ramadhan K.H. untuk sejarah penulisan biografi di Indonesia adalah dimensi kemanusiaan. Peletakan prinsip dasar manusia dan kemanusiaan menjadi pondasi setiap kegiatan penulisan biografi. Setiap manusia, siapa pun dia dan apa pun latar belakang kehidupannya, biografinya harus ditulis sebagaimana manusia apa adanya, seutuhnya, tidak lepas dari kodrat penciptaannya, yang disertai kelebihan dan kekurangan sekaligus.

Berkat didikan, arahan, bimbingan, dan latihan yang diberikan Ramadhan secara intens sepanjang tahun 2002-2003, saya berhasil menulis dua buku biografi, Simfoni Kehidupan Seorang Bupati: Dari Panggung Artis ke Arena Politik dan Si Bungsu Menjemput Masa Depan. Kedua buku tersebut mendapat sambutan pembaca cukup antusias. Komentar puluhan pembaca dari berbagai daerah memenuhi halaman pesan singkat telepon seluler saya. Moh Yahya Mustafa, wartawan Harian “Pedoman Rakyat” di Makasar mengirim surat elektronik kepada saya dan menyatakan tertarik mengikuti proses kreatif saya menulis biografi. Mulyadi Ogan, PNS Pemprov Lampung mengajurkan saya menulis kisah perjalanan hidup Siti Nurbaya, perempuan pegawai negeri yang meniti karir dari pegawai daerah hingga dipercaya menjadi Sekjen Departemen Dalam Negri dan Sekjen Dewan Perwakilan Daerah.

Demikianlah pengalaman saya berguru kepada Ramadhan K.H. Buku ini merupakan intisari pelajaran menulis biografi yang disampaikan oleh Ramadhan K.H.  kepada saya di sepanjang tahun 2002-2003. Saya tulis dan bukukan sebagai bentuk penghormatan kepada beliau, guru yang banyak mengubah jalan hidup saya, dari seorang jurnalis menjadi penulis biografi. Yang mengantarkan saya untuk peka menyelami setiap detak kehidupan.

Tidak mudah memahami secara persis bagaimana Ramadhan K.H. menulis biografi yang memikat dan menyejarah, apalagi menuliskan pengalaman berguru kepada Ramadhan ke dalam bentuk  buku panduan. Oleh karena itu, buku ini tidak lepas dari pengaruh subjektivitas saya dalam mempraktikkan pelajaran yang saya peroleh dari beliau dan pengalaman hidup saya yang jauh tidak sebanding dengan seorang Ramadhan K.H., yang hidup melintasi empat zaman sekaligus.

Saya menyesal baru mengenal Ramadhan K.H. justru setelah beliau sepuh. Saya tidak sempat menimba lebih banyak lagi ilmu dan pengalaman hidupnya yang melintasi periode-periode penting sejarah Indonesia.

Lebih menyesal lagi, karena keterbatasan, saya tidak dapat menjenguk ketika beliau sakit keras di Cape Town, Afrika Selatan. Karena sakit, saya juga tidak mendapat kesempatan mengantar beliau ke peristirahatan yang terakhir menuju Sang Pencipta. Beliau meninggalkan dunia fana pada 16 Maret 2006 pukul 08.30 waktu Cape Town. Semoga arwah beliau mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.

***

Jujur saya harus mengatakan, langkah saya menulis buku Panduan Menulis Biografi boleh dikatakan sebagai nekat. Bayangkan, saya hanya seorang penulis biografi pemula yang belum banyak mengenyam pengalaman menulis biografi tokoh.

Lalu, mengapa saya memberanikan diri menulis buku Panduan Menulis Biografi?

Pertama, saya menulis buku Panduan Menulis Biografi untuk kebutuhan diri sendiri. Saya amat mencintai dunia penulisan biografi sejak tahun 2000 dan berusaha terus mendalami sepenuhnya, tetapi pada 2002 ketika seseorang meminta saya menuliskan kisah hidupnya, saya di hadapkan pada situasi kelangkaan ilmu menulis biografi. Ketika itu di negara kita belum ada satupun buku panduan menulis biografi yang ditulis oleh biograf Indonesia. Begitu berlimpah penulis biografi di Indonesia, baik yang berlatarbelakang sejarawan, jurnalis, akademisi, maupun penulis otodidak, tetapi anehnya–sekali lagi—tidak ada satupun buku panduan menulis biografi yang ditulis biograf Indonesia. Fakta ini mejadi tantangan belajar bagi saya dan memaksa saya mengambil keputusan berani berguru kepada Ramadhan KH, maestro biografi Indonesia pada 2002. Jadi buku ini awalnya hanya berupa kumpulan catatan dari pelajaran yang disampaikan Ramadhan KH kepada saya dan saya tulis menjadi buku Panduan Menulis Biografi mula-mula untuk kebutuhan diri sendiri.

Kedua, dalam perjalanan mengkaji ilmu Menulis Biografi, setiap kali saya mendapatkan hal-hal baru saya merasa tidak puas dan terus kekurangan. Lalu seorang guru bahasa Inggris mengatakan kepada saya, “Jika Anda ingin mendapat ilmu lebih banyak, jalan terbaik adalah belajar sekaligus mengajar. Belajar sambil menyebarkan ilmu kepada orang lain akan mendapatkan umpan balik berupa ilmu yang lebih banyak dan lebih mendalam. Itu hukum alam”. Prinsip ini menggelayuti alam pikiran saya. Sejak saat itu saya memberanikan diri menjalankan misi menyebarkan pengetahuan menulis biografi kepada siapa saja yang berminat, saya tidak merasa minder seberapa dikitpun ilmu yang saya miliki. Mula-mula dengan berbagi lewat perbincangan santai sampai menyebarkan fotokopian catatan pengalaman saya selama berguru dengan Ramadhan KH kepada teman-teman penulis dan jurnalis yang berminat.

Ketiga, sebagai pembaca buku biografi yang lahap, saya belajar banyak dari prinsip para pemimpin dan pelopor di berbagai bidang. Satu hal yang menjadi renungan saya adalah prinsip: “Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”. Di tengah ketiadaan buku Panduan Menulis Biografi di tanah air, berbekal prinsip ini saya memutuskan mengawali penulisan buku Menulis Biografi sebagai panduan. Saya pikir dengan menyebarkan pengetahuan, saya akan mendapatkan ilmu yang lebih banyak dan mendalam. Dan benar, setelah buku “Menulis Biografi” terbit pada 2008 saya mendapat banyak tanggapan dari berbagai pihak, pengetahuan baru yang saya peroleh pun terus berdatangan dan mengalir deras.

Keempat, buku “Menulis Biografi” sebenarnya lebih banyak berfungsi sebagai buku motivasi agar banyak orang tergerak menulis buku kisah hidup untuk tujuan menggapai hidup yang lebih baik. Sebagai buku motivasi, ia menyebarkan prinsip-prinsip dasar Ramadhan KH dalam menulis biografi. Sejauh ini, buku “Menulis Biografi” yang saya tulis pada 2008 dan buku “Menulis Biografi Ala Ramadhan KH” yang merupakan adaptasi dari buku  “Menulis Biografi” saya nilai belum cukup untuk dijadikan panduan praktis yang lengkap dan mudah bagi masyarakat luas. Keduanya baru berupa pintu gerbang untuk mengawali proses pembelajaran. Selebihnya adalah tanggungjawab para biograf Indonesia untuk ikut melengkapi dan menyempurnakan dengan menulis buku-buku Panduan Menulis Biografi yang lebih mendalam dan berwarna-warni sesuai latarbelakang ilmu, pengalaman dan keunikan pribadi masing-masing biograf. Dengan demikian, dunia penulisan biografi menjadi indah bagi kita dan bagi semua orang yang mencintainya.

Oleh karena itu, ketika Penerbit Emerson, Yogyakarta, menerbitkan buku “Bagaimana Menulis Biografi?: Persfektif Jurnalisme” karya Ana Nadhya Abrar (penulis dan dosen FISIP Universitas Gajah Mada) pada Desember 2010, saya merasa dunia penulisan biografi Indonesia menjadi berwarna seperti yang saya harapkan selama ini sudah mulai terwujud. Buku karya Bang Abrar ini amat lengkap dan mendalam, serta dapat dijadikan panduan praktis bagi siapapun yang ingin menulis kisah hidup dirinya atau kisah hidup orang lain. Saya merekomendasikan kepada pembaca untuk memilikinya dan belajar banyak dari beliau lewat bukunya. Teman-teman yang telah dan akan mengikuti Workshop Menulis Biografi yang diselenggarakan Lembaga Studi Biografi Ramadhan KH saya wajibkan untuk memiliki buku karya Bang Abrar ini.

Saya juga menyambut baik gagasan Bang Anab Afifi (penulis biografi) tentang pentingnya dibentuk Asosiasi Penulis Biografi Indonesia. Saya merasa terhormat atas ajakan beliau untuk ikut serta membidani lahirnya asosiasi yang akan memacu semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas karya buku kisa hidup yang ditulis biograf Indonesia. Tentunya akan memberi kontribusi pencerahan kepada bangsa yang kerap dilanda multikrisis; mulai dari krisis moneter, krisis ekonomi, krisis pangan, hingga krisis moral, krisis kepemimpinan, krisis identitas dan krisis integritas.

Harapan saya buku ini dapat mendorong banyak orang menulis biografi dalam rangka ikhtiar menjadikan hidup lebih bermakna, memberi sumbangsih sejarah dan upaya pencerahan dengan nilai-nilai keteladanan dan kearifan yang dapat dipetik dari setiap kisah kehidupan.

Salam sukses selalu.


Oleh: Zulfikar Fu’ad

* Tulisan ini dikutip dari buku “Menulis Biografi, Kiat Ramadhan KH Menulis Biografi yang Memikat dan Menyejarah” yang diterbitkan Pustaka Pelajar & LIFE STORY Publisher pada 2008.

* Zulfikar Fu’ad adalah penulis buku kisah hidup (biografi, autobiografi, memoar, succes story, dsb). Ia telah menulis kisah hidup banyak tokoh, termasuk biografi Presiden RI ke-3 B.J. Habibie (diterbitkan Puskurbuk Kemendiknas).


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...