Cari Blog Ini

Senin, 09 Juli 2012

Slamet dan Markumi, Potret Kemiskinan di Sekitar Kita


Slamet dan Markumi adalah sahabat saya di masa kecil yang kehidupannya membuka mata hati saya dan memperkenalkan saya pada pedihnya hidup sebagai orang miskin dan betapa berat berjuang melawan kemiskinan.
Pengalaman sehari-hari bergaul bersama dua sahabat ini menjadi kenangan tersendiri bagi saya, diwarnai kisah pedih kehidupan mereka dan indahnya persahabatan kami, yang di kemudian hari menyisakan pertanyaan besar bagi saya, mengapa begitu banyak orang hidup dalam kemiskinan justru di negeri Indonesia yang kaya-raya?   
Slamet, secara alamiah menjadi sahabat karib saya setelah kami dipertemukan dalam pergaulan sehari-hari sebagai siswa pada sekolah yang sama, Sekolah Rakyat Kotabumi, Lampung Utara pada tahun 1960-an. Saat itu, kalau tidak salah, saya sudah duduk di kelas empat dan begitu juga Slamet.
Saya tidak ingat bagaimana persisnya pertama kali kami bertemu, tetapi yang jelas persahabatan kami begitu indah, tanpa jarak pembatas sama sekali, meski saya lebih beruntung karena terlahir dari keluarga pengusaha yang tentu saja hidup serba kecukupan, sementara Slamet, anak seorang janda miskin yang sehari-hari harus berjuang membantu ibunya untuk sekadar menyambung hidup dan membayar uang sekolah.  
Suatu hari, saya melihat Slamet dan ibunya sedang menjual minuman teh di atas kereta api yang sedang bergerak dari Stasiun Kotabumi menuju Stasiun Ketapang. Saya sengaja mencari Slamet karena ia belakangan tidak masuk sekolah dan menemukannya sedang berjualan di atas kereta api. Ibunya sedang menawarkan dagangan ketika seorang pria muncul secara tiba-tiba di hadapan Slamet dan menyerangnya secara brutal. Dari mulut pria itu, saya dengar kata-kata kotor dan makian, sambil berkali-kali meminta Slamet membayar hutang.
Tentu saja saya terkejut melihat kejadian itu, saya ingin menyelamatkan Slamet dari pukulan pria itu, tapi tidak banyak yang dapat diperbuat bocah laki-laki seusia saya kecuali memekik, menjerit sekeras-kerasnya, supaya orang-orang di atas lorong kereta yang melihat kejadian itu menghentikan penganiayaan terhadap Slamet. Ibunya meratap pedih mendapati sang anak dipukul orang karena tidak dapat membayar hutang.  
Saya merasa miris melihat kejadian ini -- seorang sahabat yang sehari-hari bersama-sama mengisi waktu istirahat sekolah dengan canda dan beragam permainan lucu -- di depan mata saya dipukul orang karena tidak dapat membayar hutang, sementara saya tidak berdaya untuk menolongnya.
Kesedihan saya terasa kian dalam merasuk ke hati, setelah mendengar cerita Slamet bahwa ia terpaksa meminjam uang dengan pria itu untuk keperluan mendesak membayar uang sekolah, oleh karena penghasilan ibunya tidak mencukupi untuk itu. Bahkan, uang pinjaman itu pun hanya bisa menutupi sebagian tagihan uang sekolahnya. Saya jadi tahu penyebab ia tidak masuk sekolah belakangan ini, oleh sebab tagihan uang sekolahnya belum terbayar.
Saya belajar dari kejadian ini, alangkah susahnya Slamet untuk bisa sekolah. Saya memang bocah yang awam dengan urusan hutang dan konsekuensinya bila tidak membayar hutang, tapi batin saya bertanya apakah Slamet yang malang harus mendapat perlakuan hina dan menyakitkan seperti itu. Di hadapan orang banyak dimaki-maki dengan kata-kata yang tidak pantas, diminta membayar hutang, lalu dihujani pukulan.
Lantas, hati saya tidak terbendung lagi, jiwa saya memberontak. Saya menjadi sadar, inilah kenyataan hidup yang dihadapi orang miskin dan saya harus berbuat, apapun bentuknya saya akan menolong sahabat saya Slamet.  
Setelah pulang ke rumah, saya lantas melirik tabungan yang selama ini saya sisihkan dari uang saku pemberian orangtua setiap kali saya berangkat sekolah. Esoknya saya temui Slamet untuk pinjamkan uang agar ia bisa bayar utang dan bisa mengikuti pelajaran di sekolah kembali. Slamet terkejut dengan uluran tangan saya, matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara banyak, tapi saya tahu dalam hatinya ia mengucap kata terimakasih dan saya senang sekali membantunya, walaupun jumlahnya tidak seberapa.  
Alhamdulilah, hutang Slamet dengan pria itu sudah lunas dan ia juga bisa kembali bersekolah. Setelah kejadian itu, setiap pagi Slamet dengan setia menunggu saya di depan rumah untuk sama-sama berangkat ke sekolah. Slamet dengan sukarela mendorong sepeda saya ketika kami sampai di jalan yang mendaki, sebaliknya setelah sampai di jalan datar dan menurun Slamet langsung loncat ke sepeda dan duduk di belakang saya. Sungguh indah persahabatan kami.
Tetapi belakangan Slamet tidak masuk sekolah lagi. Saya pikir ia mungkin menghadapi masalah di rumah atau di kereta api, tempat ia sehari-hari mendampingi ibunya berjualan selepas pulang sekolah. Setelah lama tidak ada kabar, saya datangi rumahnya dan Slamet tidak ada di rumah. Saya tanyakan pada ibunya yang sedang duduk termenung seorang diri di rumah mereka, yang sebenarnya tidak layak untuk disebut rumah.
“Bu, kenapa Slamet tidak masuk sekolah lagi? Slamet sedang ke mana?” tanya saya polos.
Ibunya menjawab dengan kalimat pendek ”Slamet wis entek, kelindes sepur. (Slamet sudah habis, terlindas kereta api)”. Saya terkejut mendengarnya, terdiam, dan bulir-bulir air mata saya memenuhi pipi.
Saya amat terpukul dengan “hilangnya” Slamet dari kehidupan saya secara memilukan. Yang menjadi sebab kesedihan saya, perjuangan Slamet untuk sekolah dan menyambung hidup harus berakhir di atas rel kereta api yang menelan hidupnya. Tapi yang menguatkan saya adalah keyakinan bahwa persahabatan kami yang indah itu tetap abadi.
Kisah persahabatan saya dengan Markumi tidak kalah mengharukan dengan cerita tentang Slamet. Bedanya Markumi,  persahabatan kami terjadi karena sering bertemu di kebun dan bermain bersama. Markumi, sahabat saya, berasal dari Ogan Lima, sekitar 3 Km dari Kotabumi, Ibu Kota Lampung Utara.
Ia tinggal di sebuah gubuk bambu di dekat Sungai Way Umban. Markumi rela tinggal sendirian di kebun sepi bermodal cobek untuk menumbuk sambal dan panci serta jaring ikan. Ia harus jauh dari orang tuanya hanya karena di Kotabumi sajalah ada sekolah rakyat pada tahun 1960-an itu.
Persahabatan saya dengan Markumi diwarnai kenakalan layaknya anak-anak. Kami kerap mengisi waktu mandi bersama di sungai yang airnya masih sangat jernih, menangkap ikan, menyabut singkong dan lainnya. 
Untuk dapat bertemu Markumi dan bermain di sungai, tentu saja saya harus diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarga, jika tahu rencana saya yang sebenarnya ibu saya pasti tidak mengizinkan.
Setiapkali ibu bertanya pada saya buat apa membawa sebotol kecap? Saya akan menjawab: “Buat bikin masakan sama Ayuk, Mak,” jawab saya berkelit. Padahal kecap itu bekal untuk saya dan Markumi membakar ikan di pinggir sungai, setelah kami berhasil menjerat ikan dengan jaring. Biasanya kami akan mandi sepuasnya di sungai itu setelah acara makan ikan bakar. Sungguh pengalaman bersahabat dengan Markumi penuh kenangan indah.
Namun, entah mengapa belakangan Markumi tidak lagi muncul di sekolah. Ketika saya cari ke gubuk bambu tempat ia selama ini tinggal, gubuk itu sudah kosong. Markumi tiba-tiba hilang dari kehidupan saya sebelum kami bisa sama-sama membangun sukses dalam bisnis dan kehidupan. Saya selalu sedih kerapkali mengingat perjuangannya untuk sekolah, dengan segala keterbatasan hidup. Markumi tinggal di gubuk sendirian dengan makan dan minum seadanya dan bersekolah dengan keadaan serba minim.
Kehidupan kedua sahabat itu terus menyita hati dan pikiran saya, sejak kami bertemu dan sampai saya mendekati senja. Dua pelajaran yang dapat saya petik adalah kedua sahabat saya itu rela melakukan apa saja demi memperoleh pendidikan dan kehidupan yang layak.
Slamet dan Markumi adalah potret kehidupan kaum miskin di sekitar kita. Orang miskin yang hidup di negeri kaya yang semakin hari kian tersisih dari persaingan hidup. Mereka sungguh nyata ada, namun kerap dianggap tidak ada oleh kita. Mereka hanya ditemui ketika akan berlangsung pesta politik, sesudahnya hanya tinggal cerita. Mereka sering tidak dipandang dengan mata dan hati yang terbuka.

(Tulisan ini adalah bagian dari naskah buku “Hidup Miskin di Negeri Kaya: Catatan Pengalaman DR. H.R. MOCHTAR SANY F. BADRIE Presiden Direktur MS Corporation & Penggagas Gerakan SATMAKURA dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan” yang ditulis oleh Zulfikar Fuad dan akan diterbitkan oleh ANDALUCIA Publishing).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...