Cari Blog Ini

Sabtu, 23 Juni 2012

“Gelombang Hidup” Ramadhan K.H.

* Sekelumit Riwayat Penulisan Autobiografi Soeharto dan Kehidupan Sang Maestro Biografi Indonesia.

Pada mulanya ia seorang penyair, belakangan merangkap sebagai wartawan, dan menulis roman. Kini dia dikenal sebagai perintis penulisan riwayat hidup tokoh dengan gaya penulisan roman. Dia satu-satunya penulis terbaik untuk penulisan jenis itu.

RAMADHAN K.H. Inilah nama yang kini telah menjadi semacam “merk” bagi kepercayaan orang. Kepercayaan yang “dipegang” oleh para pencinta buku sebagai jaminan bagi mutu karya-karyanya. Bukan itu saja. Belakangan, juga banyak tokoh masyarakat yang mempercayakan penulisan buku mengenai diri mereka kepada Ramadhan. Kepercayaan semacam itu, tiada lain, karena mereka telah membaca beberapa karya Ramadhan yang mereka nilai cukup baik dan memikat.

Di antara tokoh pelaku sejarah yang mempercayakan penulisan buku itu terdapat Presiden Soeharto dan Jenderal TNI (Purn) Soemitro. Buku mengenai gagasan dan kebijaksanaan Pak Harto terbit dengan judul Soeharto, Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya, sementara buku mengenai karir bekas Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) berjudul Soemitro, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. Kepercayaan yang sangat langka itu niscaya tidak diraih dengan mudah oleh Ramadhan.

Kepercayaan itu agaknya berkat jerihpayah Ramadhan yang sebelumnya telah menyelesaikan dua buah buku yang mendapat banyak pujian. Yaitu, Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981. 470 halaman); dan Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella (Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982, 322 halaman). Kedua buku itu bukan saja telah mengangkat nama Ramadhan sebagai penulis, tapi juga “mendongkrak” Penerbit Sinar Harapan (kini berganti nama menjadi Pustaka Sinar Harapan) sebagai penerbit buku-buku terpandang.

Meskipun kedua buku tersebut ditulis berdasarkan riwayat hidup seseorang, gaya penulisannya lebih tampil sebagai roman. Buku pertama berlatar belakang kisah-kasih seorang tokoh pergerakan nasional dengan seorang wanita cantik yang amat bijak. Buku itu menjadi perhatian banyak orang, sebab yang menjadi tokoh sentralnya ialah idola Bung Karno, yang tiada lain Inggit Garnasih, yang di masa muda berjasa mendorong semangat pemimpin bangsa itu, meskipun di masa tua nyaris dilupakan.

Selain judulnya yang sangat menarik, Ramadhan sendiri memang “tukang cerita” yang piawai. Lihatlah kalimat pertama pembuka roman yang sangat memikat dan romantis itu, gambaran yang amat tepat bagi seorang gadis Inggit: Perawakannya kecil. Sekuntum bunga mawar yang elok melekat di sanggulnya. Senyum yang menyilaukan mata. Ia berdiri di depan pintu masuk. Sinar setengah gelap. Bentuk badannya nampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang.

Layaklah bila eseis Saleh Iskandar Poeradisastra – yang mendorong Ramadhan menulis buku ini – dalam kata pengantar buku itu menyebut Ramadhan sebagai penulis yang tepat untuk menulis tentang Inggit yang disebutnya telah menjadi “pembina, penempa dan pembimbing seorang pemimpin besar”, sebab Ramadhan “bertolak dari simpati, yakni kekuatan yang merangkum dunia.” Ia juga menyebut buku ini bak “sepantun sesosok patung kecil mungil dengan citra Inggit Garnasih, tegak di sudut bangsanya”. Di tahun 1950-an, Poeradisastra banyak menulis esei sastra dengan nama samaran Boejoeng Saleh.

Mengenai buku ini, Poeradisastra juga menulis bahwa kisah-kasih yang dijalin Soekarno dengan Inggit Garnasih berjalin satu dengan perjuangan dan pengorbanan bagi bangsa dan tanah air. “Inggit bagi Soekarno adalah alter ego yang paling ideal, kewanitaan yang abadi,” tulisnya. Dan sekali lagi sebuah pujian tulus dari almarhum Poeradisastra: “Ramadhan KH menuangkan episode terindah Soekarno-Inggit itu di dalam sepotong puisi perjuangan, sebuah roman yang menggetarkan hati”.

Poeradisastra pula yang “mengejar-ngejar” Ramadhan untuk menulis riwayat hidup Dewi Dja. Nah, siapa dia? Hampir tak ada seorang pun generasi sekarang yang mengenal artis yang berjasa memperkenalkan bayi “Indonesia” ke dunia internasional ini. “Sri Panggung” perkumpulan sandiwara keliling Darbanella dari awal  abad ke-20 ini sempat melanglang eropa dan akhirnya menetap di AS. Di New York, tahun 1947, ia ikut mencari dukungan politik bagi kemerdekaan Indonesia, mendukung tim diplomasi yang beranggotakan para tokoh negarawan Soetan Sjahrir dan H.A. Salim.

Betapa cintanya Dewi Dja pada tanah air yang telah lama ditinggalkannya, diungkapkan oleh Ramadhan dengan memikat pada alinea terakhir buku itu: Airmataku menetes lagi. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar kepada sesuatu yang jauh dari padaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa! Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tapi senantiasa dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku.

Bagaimana kisah lahirnya buku Anda yang pertama, Kuantar ke Gerbang dan Gelombang Hidupku?

Pertama-tama saya menulis Kuantar ke Gerbang. Ceritanya, pada suatu saat di tahun 1974, di Paris, saya membaca kisah cinta antara Ibu Inggit dengan Bung Karno di majalah wanita Femina. Saya tertarik karena tulisan itu bagus. Saya mengirim surat kepada penulisnya agar tulisan hanya empat seri itu dilanjutkan. Tapi saya tidak mendapat jawaban. Karena itu, saya lantas memutuskan untuk menuliskannya, sepulang saya dari Paris. Saya mendapat dukungan dari Boejoeng Saleh. Tapi ternyata saya mesti melakukan riset kepustakaan selama setahun lebih, disertai wawancara. Tapi itu tidak begitu sulit. Alhamdulillah, saya masih bisa wawancara dengan Ibu Inggit yang ketika itu sudah berusia 80-an.

Bahkan saya sempat pula memotretnya, dan dimuat di buku itu. Tapi beliau hanya bercerita sedikit, mengenai hal-hal yang diingatnya saja. Saya juga sempat wawancara dengan kedua anak angkatnya, yaitu Nyonya Asmara Hadi dan Nyonya Uteh. Almarhum Asmara Hadi itu kan sastrawan dan orang pergerakan juga. Mereka pernah satu rumah dengan Ibu Inggit. Bahkan saya dibantu benar oleh Nyonya Uteh, terutama cerita mengenai perjalanan Bung Karno, Ibu Inggit dan Nyonya Uteh dari Bengkulu ke Sumatera Barat melalui hutan. Waktu itu, tahun 1920-an, Bung Karno kan “dibuang” oleh Belanda ke Bengkulu. Malah Nyonya Uteh pula yang menuliskannya dengan tulisan tangan. Buku ini laku keras, sampai cetak ulang lima kali, setiap kali 5-10.000 eksemplar.

Berkat buku inilah, saya diminta Pak Harto – melalui Pak Dipo (Almarhum G. Dwipayana ketika itu Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekrtetariat Negara, dan Direktur PFN, Perusahaan Film Negara)  — untuk menulis buku Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Buku ini pula yang mengangkat Pustaka Sinar Harapan dari kelesuan—Itu pengakuan penerbitnya sendiri. Setelah itu, ketika saya tinggal di Los Angeles, saya dengar kabar bahwa ternyata Dewi Dja masih hidup dan tinggal di sana. Informasi itu saya peroleh dari Asrul Sani (sastrawan), D. Djajakusuma (sutradara) dan Boejoeng Saleh. Karena Dewi Dja yang sudah berusia 70-an itu sudah banyak lupa, sulit bagi saya menulis biografinya. Maka saya putuskan untuk menulis dengan gaya roman—dengan setting riwayat hidup dia.  Dia sangat senang. “Kalau kelak saya meninggal, saya senang kalau buku ini sudah selesai,” katanya.

Tapi karena pengetahuan umumnya, baik di masa dia masih jaya maupun mengenai hal-hal di sekitar dirinya, sangat lemah, maka saya mesti melakukan riset dan rekonstruksi. Dia tidak tahu di mana Turki, di mana Singapura. Untung, dia masih menyimpan dokumentasi seperti foto-foto. Sutradara Misbach Jusa Biran, yang mengelola dokumentasi film Indonesia di Sinematek banyak membantu saya. Dari sini saya tahu betapa besar perhatian Bung Sjahrir kepada para seniman, sebab ia menyadari betul peranan mereka. Dewi Dja adalah seniwati pertama yang ikut memperkenalkan Indonesia kepada publik Amerika di New York (1947). Dia duduk berdampingan dengan H. Agus Salim, Soetan Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo.

Bagaimana sampai Anda terpilih sebagai penulis buku mengenai Pak Harto?

Begini. Ketika itu, penerbit dan juga teman-teman yang lain bilang kepada saya, bahwa buku mengenai Ibu Inggit, Kuantar ke Gerbang, sangat laku, dan orang terpikat membacanya. Bukan saja karena tokoh sentralnya menarik, tapi juga orang senang membacanya dengan gaya bercerita, yaitu gaya roman. Begitu pula kisah mengenai Dewi Dja, Gelombang Hidupku. Kemudian, sewaktu saya di Jenewa, datanglah Pak Dipo menemui saya, minta agar saya menulis mengenai Pak Harto. Tapi ketika itu saya di Paris. Jadi Pak Dipo menemui istri saya. Lalu dia menelepon saya. Wah, saya grogi juga diminta menulis mengenai presiden. Saya katakana, “Nanti sajalah kalau saya pulang ke Jakarta”. Saya pulang ke Jakarta tahun 1984. Sebelum saya berbicara dengan Pak Dipo di Jakarta, saya sudah bertemu dengan teman sekolah dan teman seperjuangan di awal revolusi bersenjata, di Front Sukabumi, yaitu Martalegawa.

Kami berbicara mengenai Pak Alex Kawilarang dan mengenai pengalaman ketika berjuang dulu. Bagi kami, yang ketika itu masih remaja, masih SMP, mendengar nama Pak Alex saja sudah terkagum-kagum dan bersemangat untuk bertempur. Ketika itu Pak Alex adalah komandan di kalangan para pejuang di wilayah Priangan Barat (Bogor, Cianjur, Sukabumi). Saya tidak melanjutkan menjadi tentara, tapi Pak Martalegawa kemudian menjadi anak buah Pak Alex. Maka saya pun menemui Pak Alex (yang ketika itu masih hidup, juga ketika buku itu sudah diluncurkan), untuk meyakinkan pentingnya biografi. Mula-mula beliau tidak mau, tapi akhirnya bersedia. Jadi, inilah buku biografi satu-satunya atas inisiatif saya, yang ditulis sebagai biografi, bukan dengan gaya roman. Yang lain merupakan permintaan dari tokoh yang bersangkutan.

Yang sangat membantu saya ialah ingatan Pak Alex yang masih bagus. Beliau masih ingat semua nama-nama orang, bahkan juga nama-nama jalan dan nama-nama desa tempat beliau dulu bergerilya. Desa dan jalan-jalan di Sukabumi selatan dan Cianjur selatan waktu revolusi bersenjata. Ketika sedang mengerjakan bukunya Pak Alex itulah Pak Dipo datang ke rumah untuk meminta saya menulis buku mengenai Pak Harto. Yang teringat oleh saya, ketika akan meninggalkan rumah, dengan tersenyum Pak Dipo bilang, “Saya tidak mau dengar Pak Ramadhan tidak bersedia menulis buku ini”. Buat saya, ucapan itu sangat impresif karena selain saya baru saja kenal juga karena dia itu kan jenderal, dan salah seorang pembantu Pak Harto yang terdekat.

Ketika itu kan sudah ada bukunya O.G. Roeder, The Smiling General?     

Ya. Tapi gaya penulisan buku saya dengan bukunya Roeder, lain. Setelah saya berdiskusi dengan teman-teman, dan sudah tentu dengan istri saya, maka ketika bertemu lagi dengan Pak Dipo segera saya katakana bahwa saya bersedia menulis buku mengenai Pak Harto itu, tapi dengan syarat, as told to, seperti halnya Cindy Adams menulis mengenai Bung Karno, Sukarno, An Authobiography, as told to Cindy Adams (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, terjemahan Mayor Abdul Bar Salim, PT Gunung Agung, Jakarta, 1966). Setelah berkali-kali, akhirnya Pak Harto setuju pula dengan gaya penulisan seperti itu. Tapi saya juga mengajukan beberapa syarat agar pekerjaan saya lancar tanpa gangguan, dan bukunya bagus sementara masyarakat juga tertarik.

Pertama-tama, karena saya hanya merekam saja segala sesuatu yang diceritakan oleh Pak Harto, tentu saja saya juga harus mengajukan beberapa pertanyaan. Dalam hal ini, janganlah ada pikiran-pikiran politis mengapa saya mengajukan pertanyaan seperti itu, apakah ada latar belakang atau motif tertentu di belakangnya, dan sebagainya. Dan mengapa judulnya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya –karena saya tidak bisa mengorek secara langsung bagaimana isi hati atau perasaan Pak Harto sebagai subyek tulisan saya. Sangat sulit menampilkan profil pribadi Pak Harto secara utuh, karena ada jarak. Lagi pula saya hanya sempat wawancara dua kali, setiap kali hanya dua jam. Pertama kali di Cendana, satu kali lagi di Tapos.

Di antara kedua pertemuan dan setelah pertemuan kedua itu, setiap Jum’at saya mengajukan pertanyaan tertulis yang dibawa oleh Pak Dipo untuk disampaikan kepada Pak Harto. Saya mengantarkan pertanyaan itu ke kenatornya di P.F.N. Pertanyaan itu dibacakan oleh Pak Dipo, dijawab oleh Pak Harto, dan direkam. Buku itu saya garap selama dua tahun, sesuai dengan persetujuan Pak Harto sendiri. “Tidak usah cepat-cepat, tapi ada batas waktu. Ya, dua tahunlah”, kata Pak Harto. Sebab kalau mau cepat-cepat, saya kan grogi. Saya juga minta bahan, buku-buku dan kliping-kliping dari Pak Dipo. Setiap bab dikoreksi sendiri oleh Pak Harto. Saya tahu bahwa Pak Harto membacanya dari A sampai Z, karena beliau menulis koreksian dan tambahan itu di balik naskah.

Koreksian, atau tambahan penting dari Pak Harto, antara lain, menyangkut tiga nama yang “mendapat kesempatan” untuk tampil menjadi wakil presiden, yaitu Soedharmono, Moerdiono dan Ginandjar Kartasasmita. Jadi ada tiga nama yang disebut. Tapi akhirnya kan Pak Dharmono yang tampil. Itu yang terpenting. Yang lain koreksian kecil-kecil. Untuk mendekati kebenaran yang obyektif, saya sebagai wartawan juga berulang kali menanyakannya. Tetapi jawaban beliau tetap sama. Misalnya, mengenai soal “petrus” (penembakan misterius terhadap sejumlah penjahat), juga soal Serangan Oemoem 1 Maret 1948 di Yogya. Tapi karena gaya penulisannya as told to, maka saya tidak bisa mendiskusikannya. Hanya merekam dan mentranskip apa adanya saja.

 ***

KARIR RAMADHAN Kartahadimadja—begitu kepanjangan namanya; sementara panggilan akrab di kalangan keluarga terdekatnya, Atoen—sudah menonjol sejak tahun 1950-an. Ketika itu ia telah dikenal sebagai penyair. Kumpulan puisinya, Priangan Si Jelita, mendapat penghargaan pertama Badan Musyawarah Nasional Indonesia (1957). Bisa dimaklumi, sebab minatnya pada sastra sudah terpupuk sejak zaman Jepang berkat bimbingan kakaknya, Almarhum Aoh Kartahadimadja yang juga sastrawan. Mula-mula menulis puisi dan cerita pendek, belakangan ia menulis novel.

Ramadhan lahir di Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 16 Maret 1927. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, ia baru berusia 18 tahun. Dan seperti layaknya para pemuda remaja kala itu, ia ikut pula masuk-keluar hutan dan desa, bergerilya mempertahankan tanah air. Ia bergabung dengan sebuah lascar rakyat di Front Sukabumi. Tapi karir militernya ini tidak dilanjutkannya, karena ia lebih tertarik menjadi diplomat. Maka, lima tahun kemudian, ia pun masuk Akademi Dinas Luar Negeri yang ketika itu dikenal dengan singkatannya, ADLN.

Bukan semata-mata sebagai pengarang, Ramadhan juga dikenal sebagai wartawan dan redaktur beberapa majalah politik dan kebudayaan. Beberapa diantaranya, Siasat, Siasat Baru (1950-an), Kisah (ini majalah khusus cerita pendek, 1960-an), dan harian Kompas (1970-an), serta majalah kebudayaan pimpinan budayawan Ayip Rosidi , Budaya Jaya (1970-an). Sebagai wartawan kantor berita Antara (selama 13 tahun), ia sempat meliput Olimpiade di Helsinki dan Asian Games di New Delhi. Meski pernah pula melukis, ia lebih menonjol sebagai sastrawan.

Selain Priangan Si Jelita yang mendapat hadiah BMKN (1957), ada tiga buah novel karya Ramadhan yang juga mendapat penghargaan, yaitu: Royan Revolusi (hadiah pertama Ikapi/Unesco, 1968), Kemelut Hidup dan Keluarga Permana (hadiah Dewan Kesenian Jakarta, 1975 dan 1976). Kumpulan puisi Priangan Si Jelita dan novel Royan Revolusi telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis (1968), sementara Kemelut Hidup difilmkan oleh sastrawan dan sutradara Asrul Sani.

Perjalanannya ke luar negeri, Eropa dan AS, selain menambah pengalaman ternyata juga membuahkan karya-karya sastra. Misalnya ketika ia mendapat undangan Sticusa (Stichting voor Culturele Samenwerking, Yayasan Kerjasama Kebudayaan) untuk berkunjung ke Negeri Belanda dan beberapa Negara Eropa Barat. Akan tetapi Ramadhan rupanya lebih tertarik pada sastra Spanyol. Maka ia pun memutuskan untuk menetap di “negeri matador” itu selama setahun (1953-1954). Sebab, kebetulan istrinya yang diplomat itu (Prustine, dengan panggilan kesayangan Tines, wafat 1990) juga bertugas di sana.

Dan di sana Ramadhan tak tinggal diam. Ia mempelajari bahasa dan sastra Spanyol . Dan hasilnya, lahirlah tiga buah buku terjemahan karya sastrawan besar Spanyol, Frederico Garcia Lorca: Romansa Kaum Gitana (kumpulan puisi yang sempat terkenal di tahun 1960-an), dan dua sandiwara yang beberapa kali dipentaskan oleh Akademi Teater Nasional Indonesia, Jakarta (1960-an), yaitu Rumah Bernarda Alba dan Yerma.

Ketika menemani istrinya yang bertugas sebagai diplomat di Paris, Ramadhan tetap kreatif. Ketika itulah lahir antologi sejumlah puisi Indonesia dalam dua bahasa, Indonesia dan Prancis, berjudul Anthologie Bilingue de la Posie Indonesie Contemporaine. Ramadhan memang selalu mengikuti istrinya yang selama beberapa tahun ditugaskan di Jenewa, Madrid, Paris, Los Angeles. Ketika pulang ke Jakarta, di tengah kesibukannya sebagai Direktur Pelaksana Dewan Kesenian Jakarta (1970-an), lahir pula novelnya Ladang Perminus.

Omong-omong, bagaimana teknik Anda menulis, apakah sebelumnya menyusun rancangan dulu?

Karena saya bertolak dari novel, maka saya terlebih dulu menyusun pointers yang menyangkut urutan kejadian. Semacam scenario. Agar supaya setting-nya tepat, sesuai dengan kejadiannya. Jadi alurnya enak seperti cerita novel. Dan kebanyakan, saya memulai bercerita mengenai hal-hal yang menarik di sekitar tokoh yang menjadi subyek cerita. Milsanya buku mengenai Pak Harto itu, adegan yang pertama ialah prestasi Pak Harto yang paling unggul di dunia internasional – yang kebetulan ketika itu sedang menjadi berita—yaitu sewaktu Pak Harto mendapat penghargaan dari PBB mengenai keberhasilan swasembada beras. Dengan begitu saya berharap pembaca terpikat.

***

 DI USIANYA yang sudah lebih dari setengah abad, kini Ramadhan masih menulis terus. Setelah biografi A.E. Kawilarang – tokoh gerilya yang dikaguminya sejak ia remaja – berjudul A.E. Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih, dari tangannya meluncur dua buku mengenai bekas Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin: Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977, dan sebuah buku yang bersumber dari guntingan pers, Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab. Sebelumnya ia diminta menulis mengenai Jenderal (Pol) Hoegeng, dan konglomerat Soekamdani S. Gitosardjono. Proses penulisan buku Soekamdani cukup lancar, selesai hanya dalam waktu enam bulan karena pemilik Hotel Sahid itu tak segan-segan juga ikut membantu mencari bahan. Katanya, ia malah sempat tiga malam tidak tidur untuk mencari bahan.

Ramadhan kini memang laris, banyak orang minta kepadanya untuk menulis Sjamaun Gaharu, tokoh militer yang berperan besar dalam perjuangan bersenjata di daerah Sumatera Utara dan Aceh, antara 1945-1950-an. Tapi Ramadhan sebenarnya tidak punya target untuk menulis biografi atau otobiografi tokoh-tokoh. Sebab, katanya, “saya lebih mengutamakan menulis novel”. Karena mulai banyak orang memintanya menulis biografi, sementara ia lebih cendrung menulis roman, ia pun mendidik kader dan bertindak sebagai pembimbing. Misalnya Abrar Yusra, yang bersama Ramadhan menulis buku mengenai Jenderal (Pol) Hoegeng.

Juga penyair Hamid Jabbar diajak membantu menulis biografi H.M. Th. Gobel, tokoh wiraswastawan Indonesia yang terkenal itu. Ia juga mengajak wartawan majalah Mutiara  dengan penulis cerita pendek, Ray Rizal. Penulis muda lainnya ialah Atang, wartawan Mangle, majalah berbahasa Sunda yang terbit di Bandung. Dia membantu Ramadhan menulis buku mengenai Didi Kartasasmita, tokoh militer di akhir masa pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian menjadi salah seorang TNI. “Ketokohan Pak Didi ini menarik, karena dia bersama kawan-kawannya adalah bekas KNIL yang pro Republik,” ujar Ramadhan. KNIL (Koninkelijke Nederlandsche Indie Legere) adalah kesatuan tentara Belanda yang terdiri dari pribumi.

Dengan begitu, selain Ramadhan tetap dapat memusatkan perhatian pada penulisan novel, ia juga dapat mendidik kader penulis biografi. Bukan hanya itu, sejak lama ia juga mengajak penyair Soegiarta Sriwibawa sebagai editor naskahnya. Tugasnya, selain memperbaiki bahasa dan ejaan, tentu juga memeriksa kembali kalau-kalau ada adegan atau hal-hal lain yang tumpang-tindih. “Saya senang dan cocok dengan dia sebagai editor. Kalau saya sendiri yang memeriksa atau membecanya kembali kan jenuh,” kata Ramadhan.

Kini ia tengah menyiapkan novel mengenai wanita (tapi judulnya belum ada), diillhami oleh almarhum istrinya. Adalah Tines, istri, yang senantiasa menyiramkan spirit kepada sang suami tercinta dalam menulis. “Dialah pula editor pertama buku-buku saya; orang pertama yang membaca tulisan-tulisan saya,” kata Ramadhan. Dari Tines, yang wafat tahun 1990 itu, Ramadhan mendapat dua putera: Gilang Ramadhan, kini berusia 35 tahun (drummer terkenal), dan Gumilang Ramadhan, 32 tahun, yang lebih suka mengurusi manajemen musik. Sekarang, Ramadhan ditemani oleh Salfrida Nasution. Istri tercinta yang dinikahinya pada bulan Januari 1993 ini masih dari kalangan “satu kampus”, yaitu Departemen Luar Negeri. Dan menurut Ramadhan, penyair romantis Priangan Si Jelita ini, ia tercinta adalah “sang pembawa rezeki”.

***

Anda begitu produktif. Bagaimana Anda membagi waktu antara menulis dan mengurus rumah tangga?

Saya merasa sangat berbahagia mendapat kesempatan luas dan bebas untuk menulis, terutama karena bantuan dan pengertian almarhum isteri saya, Tines. Kalau ia bertugas di luar negeri, maka saya bebas menggunakan waktu sepenuhnya untuk menulis. Saya didukung sepenuhnya, karena ia juga mengerti sastra. Dia kan studi sastra Rusia. Ia selalu berkata, “Kamu kan bercita-cita jadi penulis. Jadi jangan mengerjakan yang lain-lain, menulis saja”. Jadi saya tidak usah memikirkan ekonomi rumah tangga. Ini dukungan yang luar biasa. Dialah yang pertama kali membaca tulisan-tulisan saya. Dan dengan istri saya yang sekarang, Salfrida Nasution, saya sebagai penulis, alhamdulilhah, juga selalu mendapat keberkahan dari Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rezeki. Maka boleh dibilang, dia ini pembawa rezeki. BSH.

(Dikutip dari majalah bulanan Berita Buku Edisi 53 Tahun VII September 1995, dengan sedikit pengubahan pada judul)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...