Cari Blog Ini

Rabu, 20 Juni 2012

Kenangan Sholat Jum’at Bersama Pak Harto

Pada Juli 1997, setahun sebelum lengser dari kursi Presiden, saya sempat bertemu Pak Harto. Kami sama-sama menjadi jamaah sholat Jum’at di Masjid Baiturrahman, yang berdiri megah di halaman samping Komplek Istana Negara. Pak Harto berada di saf pertama, ditemani para Menteri, Jaksa Agung dan Kepala Polri, persis di depan khotib yang menyampaikan tausiah di atas podium.

Saya di saf ketiga, kira-kira dua meter dari Pak Harto, terhalang anggota Paspampres yang mengisi penuh saf kedua. Meski sama-sama jamaah, bagaimanapun kami hanya rakyat biasa dan Pak Harto seorang pemimpin Negara, dan tentu saja ia mendapat perlakuan berbeda, dengan pengamanan ekstra ketat.

Sesekali saya mengamati Pak Harto. Ia lebih sering merundukkan kepala dengan mata kosong menatap ke karpet. Sepertinya khusuk mendengarkan wasiat khotib. Atau barangkali merenungi tugas-tugasnya sebaga kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan yang kelak akan diminta pertanggungjawaban, oleh rakyat di dunia, dan oleh Allah SWT di akhirat.

Sosok Pak Harto baru tampak penuh di hadapan saya, ketika ia beranjak dari tempatnya sembahyang dan berdo’a, lalu meluruskan tegaknya, berjalan ke pintu depan sambil menyalami jamaah satu persatu.

Pak Harto berusaha selalu tersenyum di hadapan siapa saja. Termasuk kami, jamaah sholat Jum’at. Karismanya memancar, setiapkali senyumnya mengembang. Tapi guratan di wajah  sepertinya tidak dapat menutup isi hatinya, seolah mengisahkan keletihan seorang yang berkuasa selama 32 tahun atas negeri berpenduduk lebih dari 220 juta, mayoritas muslim, dengan potensi konflik yang tinggi, yang seringkali meletup-letup tanpa diduga waktu dan tempatnya. Negeri yang kaya raya sumber daya alam dengan penduduk yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan.

Keletihan itu kian tampak ketika Pak Harto berdiri limbung nyaris terjatuh, saat melangkah ke halaman masjid. Beruntung Jend. (Purn) Hendropriyono–ketika itu menjabat Sekretaris Pengendali Operasional Pembangunan (Sesdalopbang)–yang berada di sampingnya sigap memeluk Pak Harto. Pak Harto baru dapat berjalan nyaman setelah ajudan memberinya tongkat.

Setelah Jakarta meletus dengan kerusuhan dan huru-hara di mana-mana selama sepekan sejak 15 Mei 1998, diikuti dengan pidato Pak Harto yang memutuskan mengundurkan diri sebagai Presiden pada 21 Mei berikutnya, ingatan saya kembali ke peristiwa di halaman masjid itu. Seakan-akan peristiwa itu menjadi pentunjuk kejatuhan Pak Harto dari singgasana kekuasaannya.

Sebagai jurnalis dan penulis biografi saya bersyukur sering mendapat kesempatan berhubungan baik dengan pejabat Negara, bahkan kerap berada dekat dalam kehidupan keseharian mereka. Kami mengamati dan belajar bagaimana mereka sampai pada puncak kekuasaan dan bagaimana mereka jatuh dengan teramat menyakitkan. Ada mantan menteri yang dikejar-kejar KPK, ada mantan gubernur yang dipenjara, dan ada mantan bupati yang hidup tidak tenang karena orang-orang selalu mencari kesalahan dan kekhilafannya di masa menjabat.

Setelah Pak Harto tidak lagi menjabat presiden, ia menjadi lelaki tua yang kesepian. Para pejabat yang dulu diangkat dan dibelanya banyak yang sudah tidak peduli dengannya. Bahkan ada yang berbalik memusuhinya, menyalahkan orde baru dan kepemimpinannya sebagai biang keterpurukan Indonesia. Orang-orang yang menikmati hidup di zaman orde baru tiba-tiba muncul sebagai pahlawan yang menuntut penguasa orde baru diproses hukum sebagai koruptor. Dan, Pak Harto, jenderal besar bintang lima yang dulu teramat disegani dan ditakuti itu kini hanya dipanggil sebagai Soeharto saja. Itulah ironi kekuasaan.

Belajar dari kejatuhan Pak Harto, marilah kita menghargai kebaikan, peran dan kontribusi para pemimpin sebelumnya secara proporsional dan mendudukkan kekurangan mereka sebagai pelajaran sejarah, pelajaran untuk kita semua: rakyat dan calon pemimpin berikutnya. Dan janganlah berlebihan mengharap perubahan kepada pemimpin baru, karena kemungkinan akan menuai kekecewaan yang mendalam.

Sikapi setiap pemimpin secara proporsional sesuai kemampuan dan kewenangannya. Pada hakikatnya, pemerintah hanyalah fasilitator dan dinamisator pembangunan, sedangkan keberhasilan pembangunan itu sendiri amat ditentukan juga oleh peran kita sendiri, sebagai rakyat, sebagai pelaku pembangunan. Wallahu a’lam bis sawab.

* Tulisan ini pernah terbit di Suratkabar Bandar Lampung News edisi 331 tanggal 17-23 Juli 2010.

1 komentar:

  1. Planet Win 365 Casino Review for 2021 - 100% up to €$400
    Planet 온카지노 Win 365 Casino Review ➤ Get 100% up to €400 Welcome Bonus + 200 free matchpoint spins ➤ planet win 365 Grab WELCOME BONUS.COM NOW!

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...