Cari Blog Ini

Kamis, 21 Juni 2012

Menulis Biografi, Upaya “Penelanjangan” Diri

MENULIS biografi adalah semacam upaya “penelanjangan”diri: diri sendiri dan diri orang yang ditulis. Dan, seseorang yang bersedia menulis atau ditulis biografinya haruslah siap dengan penelanjangan itu. Mereka harus siap memindahkan ruang privat yang biasanya sangat sempit dan tertutup ke bentangan ruang publik yang luas tak bertepi ketika menjadi buku. Sebab, salah satu kekuatan biografi adalah kejujuran dari sang subjek untuk membuka diri selebar-lebarnya.

Biografi mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, My Life Bill Clinton (2004) amat ditunggu publik (Amerika) karena ada pengakuan jujur hubungan sang presiden dengan Monica Lewinsky, pekerja magang Gedung Putih, yang amat menghebohkan itu. Bahkan, ketika masih dalam proses penulisan saja pihak penerbit telah membayar Clinton 12 juta dolar AS (sekitar Rp120 miliar). Penjelasan Clinton tentang hubungannya dengan Lewinsky dinilai publik Amerika sebagai sesuatu yang bisa diterima. Apalagi Clinton juga merasa amat terpukul dengan kasus itu. “I was deeply ashamed of it and I didn’t want it to come out (Saya sungguh malu tentang hal itu [skandal cintanya dengan Lewinsky] dan saya tidak ingin hal ini sampai ke luar,“ (hlm.774).

Sebelumnya, buku yang juga mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Amerika salah satunya adalah The Autobiography of MALCOM X (1992) yang dituturkan kepada Alex Halay. Tokoh karismatik kulit hitam itu mampu menceritakan kisah hidupnya yang getir dan berlumpur sebagai orang kulit hitam di tengah hegemoni kulit putih yang amat diskriminatif. Ia menuai simpati karena mengungkapkan sisi gelap negeri demokrasi yang tidak memberikan tempat kepada minoritas (sekurangnya sebelum tahun 1960-an). Biografi Malcom X adalah cerita pilu tentang anak manusia di negeri pencetus HAM. Buku ini menjadi bestseller versi The New York Times.

Sementara buku biografi Soeharto, The Life and Legacy of Indonesia’s Second President (2007) — dengan embel-embel “an authorized Biography” — yang ditulis Retnowati Abdulgani-Knapp dinilai amat pro Soeharto. Sebab, berkali-kali dalam tulisannya, putri tokoh nasional Ruslan Abdulgani itu memohon kepada pembaca supaya memaklumi Soeharto sebagai orang yang telah berjasa besar terhadap Indonesia. Padahal, banyak hal mengenai Soeharto masih menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, bahkan masih kontroversial. Penulis dianggap telah “ambil bagian” terlalu banyak dalam menulis biografi Soeharto.

Memang, menulis biografi yang menggugah dan berdaya tahan lama tidaklah mudah. Sang penulis harus pandai-pandai menggali berbagai hal dari tokoh yang hendak ditulis–-termasuk hal yang sangat sensitif dan sangat pribadi sifatnya. Sementara autobiografi (yang ditulis sendiri atau seperti diceritakan kepada orang lain) juga butuh daya ingat yang tajam tentang masa silam dan kejujuran yang prima tentang berbagai hal yang pernah menjadi pengetahuan/gunjingan publik.

Di Indonesia penulis biografi belumlah banyak. Tetapi, di antara yang sedikit itu, Ramadhan Kartahadimadja atau yang populer dengan nama Ramadhan Kh., termasuk yang istimewa. Karena, sastrawan kelahiran Bandung, 16 Maret 1927 ini, kemudian mengkhususkan diri menulis biografi dan bahkan merintis apa yang disebut roman biografi. Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit Garnasih dengan Bung Karno (1981) dan juga Gelombang Hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982) adalah contoh roman biografi itu. Dalam Kuantar ke Gerbang, Ramadhan sangat berhasil mengorek percintaan Inggit yang telah bersuami dengan pemuda Soekarno.

Mantan anggota Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta ini menulis lebih dari 30 buku, dan dari jumlah itu sepertiganya adalah biografi. A.E. Kawilarang, Soeharto, Soemitro, D.I. Panjaitan, Hoegeng, Mochtar Lubis, dan Ali Sadikin adalah nama-nama besar yang pernah digarap biografinya oleh Ramadhan. Yang istimewa, seperti pernah ia katakan kepada saya, Ramadhan menulis semua naskah buku dengan tulisan tangan.

Akan tetapi, dari sekian banyak buku biografi Ramadhan, yang menyedot perhatian publik amat luas adalah biografi penguasa Orde Baru, Soeharto, berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989). Buku ini ia tulis bersama G. Dwipayana. Buku yang menghebohkan itu, ternyata hasil dari dua kali pertemuan dengan Presiden Soeharto secara langsung. Selebihnya ia mengajukan pertanyaan secara tertulis.

Namun, meski buku itu mendapat sambutan luas, seperti yang ia katakan kepada saya, Ramadhan tidak happy. Sebab, ia merasa tidak berhasil mengorek perasaan sang jenderal besar itu. Ia memang meminta kepada G. Dwipayana, yang waktu itu sebagai orang di lingkaran dalam istana, supaya boleh sebebas-bebasnya menanyakan kepada Soeharto dan jangan dicurigai. Dwipayana setuju. “Tetapi, toh masih ada saja kekurangannya. Ketika pertanyaan itu diajukan memang (jawabannya) tidak keluar dari Pak Harto. Minim sekali. Pikirannya, ucapannya, action-nya, memang ya, tetapi perasaannya tidak. Itu sebabnya,judulnya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Karena saya tidak berhasil mengorek perasaaanya. Pak Harto agaknya pandai menyimpan perasaannya,” kata dia kepada saya. (Media Indonesia, 27 Desember 1992).

Kekecewaan Ramadhan, selain amat sedikit bertemu Soeharto, sebagai penulis ia juga merasa kurang dihargai. Ketika menanyakan imbalannya sebagai penulis, misalnya, ia dipingpong pihak Cendana. Ia pernah menanyakan kepada Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto sebagai bos PT Citra Lamtoro Gung Persada–penerbit buku tersebut—tapi mendapat jawaban yang kurang menyenangkan. Ramadhan disuruh menanyakan hasil jerih payahnya menulis kepada Sekretariat Negara. “Saya kecewa sekali,” kata dia lirih. (Waktu itu [tahun 1992] ia wanti-wanti bagian ini tidak dimuat di koran. Saya setuju, dengan pertimbangan agar Ramadhan dan Media Indonesia tidak mendapat kesulitan dari penguasa).

Setelah biografi Soeharto, tiga tahun kemudian ia menulis memoar mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dengan judul Bang Ali, Demi Jakarta (1966-1977). Bang Ali adalah seteru berat Soeharto. Dengan menulis Bang Ali, sang seteru penguasa Orde Baru itu, terlihat kekecewaan Ramadhan tertebus. Hubungan keduanya (Ali Sadikin-Ramadhan) memang cukup dekat. Waktu itu, pada 1992, ia memberikan buku Bang Ali kepada saya dengan harapan Media Indonesia meresensinya. Dan, saya memang meresensinya dengan memuji buku tersebut sebagai buku bermutu, karena berisi keteladanan seorang gubernur yang berani, tegas, dan penuh inovasi. Bang Ali meninggalkan Balai Kota–karena tidak dipilih lagi sebagai gubernur oleh Soeharto— justru ketika ia dalam puncak keharuman namanya!

Dari sekian banyak buku biografi yang ditulis pengagum penyair Spanyol Federico Garcia Lorca itu, agaknya,yang paling tidak tidak memberikan kepuasan batin–juga mungkin finansial—justru ketika Ramadhan menggarap biografi seorang presiden. Secara awam saja, mestinya biografi Soeharto itulah yang paling membanggakan dan paling mendatangkan materi. Ternyata dua-duanya tidak! Ini artinya, bagi seorang penulis, khususnya Ramadhan Kh., bahwa kepuasaan batin adalah perkara paling utama dalam menulis.

 ***

 PENULISAN biografi adalah wilayah terbuka, amat menantang, dan belum banyak yang memilih sebagai spesialisasi garapan. Karena itu, adalah pilihan tepat kalau ada di antara kita memilih “genre” penulisan ini sebagai pilihan. Dan, buku yang ditulis Zulfikar Fu’ad ini, bisa membantu pembaca, terutama yang ingin menekuni penulisan biografi. Ia bisa sebagai “penuntun”.

Pilihan Ramadhan Kh. yang sebelumnya dikenal sebagai seorang penyair, novelis, dan wartawan, kemudian menggeluti penulisan biografi, sebagai garapan utama dalam buku ini adalah pilihan tepat. Pria yang oleh temanteman dekatnya dipanggil Kang Atun itu, dinilai sebagai penulis biografi terbaik, sosok rendah hati, dan pembimbing yang tekun. Meski sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri, karena mengikuti sang istri sebagai diplomat, ia tetap sebagai seorang Sunda, seorang Indonesia, seorang yang bersahaja.

Dengan nama besar sebagai sastrawan, antara lain menulis Priangan Si Djelita (kumpulan sajak, 1956), Royan Revolusi (novel, 1958), Kemelut Hidup (novel, 1976), Keluarga Permana (novel, 1978), Untuk Sang Merah Putih (novel, 1988), dan Ladang Perminus (novel, 1990), penerima Hadiah Sastra Asia Tenggara 1993 ini tidak merasa harus membusungkan dada. Konkretnya, beberapa kali dalam menulis biografi, ia mengajak para penulis yang lebih junior, antara lain Abrar Yusra dan Ray Rizal. Inilah bimbingan nyata Ramadhan.

Memang, belajar terbaik adalah langsung “magang” pada mereka yang dianggap punya reputasi. Tetapi, kalaupun bisa, Ramadhan cuma satu. Artinya, yang bisa “nyantrik” untuk belajar niscaya amatlah sedikit. Terlebih lagi, sosok pembimbing itu sudah tiada. Ia telah berpulang pada 2006. Ia wafat tepat di hari ulang tahunnya, 16 Maret. (Tak banyak manusia yang dipanggil Sang Khalik tepat di hari kelahirannya! Lagi-lagi, Kang Atun, termasuk yang sedikit itu).

Karena itu, sekali lagi, kehadiran buku Zulfikar Fu’ad menjadi penting sebagai penuntun penulisan biografi itu. Tentu, seribu buku panduan praktis sebaik apa pun tidak ada manfaatnya kalau tidak disertai praktik lapangan. Karena itu, hal terbaik adalah baca buku ini dan langsung action.

Selamat “menelanjangi” diri sendiri dan diri orang lain.

Oleh: DJADJAT SUDRADJAT

* DJADJAT SUDRADJAT adalah Wakil Pemimpin Umum Harian Lampung Post/ Anggota Dewan Redaksi Media Group.

* Tulisan ini dikutip dari pengantar buku “Menulis Biografi, Jadikan Hidup Anda Lebih Bermakna!: Kiat Ramadhan KH Menulis Biografi yang Memikat & Menyejarah” yang ditulis oleh Zulfikar Fu’ad dan diterbitkan oleh Pustaka Pelajar bekerjasama dengan LIFE STORY Publisher.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...