Cari Blog Ini

Rabu, 20 Juni 2012

Emha: “Kacamata Gus Dur yang Baru itu Duit Rakyat”

Rona kerinduan tercermin dalam wajah lebih dari sepuluh ribu umat Islam di kawasan PT. Gula Putih Mataram (GPM), Seputihmataram, Lampung Tengah ketika Emha Ainun Nadjib berusaha berdialog dengan mereka, Sabtu malam (13/11). Siraman rohani Cak Nun – panggilan kondang Emha – membuat mereka tak kuasa menahan kangen, apalagi diiringi shalawatan Cak Nun dengan irama musik religius Kiai Kanjengnya.

Sifatnya yang merakyat masih tak berubah dalam sosok cendekiawan muslim yang juga budayawan itu. Setiap pertanyaan dijawabnya dengan ramah dan menyejukkan meski terkadang menyerempet isu sensitif bernuansa politik. Sesekali ia memeluk pria yang dipanggilnya naik panggung. Ia juga menolak disanjung seperti artis.

“Saya bukan artis seperti Novia Kolopaking,” celoteh Cak Nun, menyindir istrinya yang sedang hamil tua itu.

Dialog yang berlangsung spontan dan tanpa direncanakan pihak panitia itu sempat menyinggung persoalan keutuhan bangsa, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kepemimpinan Presiden Abdurahman Wahid, serta pengadilan mantan Presiden Soeharto.

Tanya jawab selama setengah jam itu berlangsung penuh kekeluargaan. Suasana berubah menjadi “memanas” ketika Cak Nun — yang selama ini dikenal vocal menuntut pengadilan Pak harto – dipaksa Zainal Arifin, warga Housing II GPM berbicara tentang Pak Harto.

“Katanya Cak Nun vocal tentang Soeharto, kok malam ini diam saja?,” Tanya Zainal.

Kiay Mbeling yang ditanya tersenyum. Cak Nun seperti merasa terdesak dan menjawab bahwa dirinya memang sengaja tidak menyinggung persoalan hukum Pak Harto karena tidak berada pada acara yang tepat. Cak Nun hadir di GPM untuk memberi siraman rohani umat muslim di sana yang sedang merayakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW.

 “Karena sudah ditanya. Ya saya akan jawab,” tutur Cak Nun mengawali dialog yang mulai menyinggung isu diluar konteks acara itu. Cak Nun mengatakan ia tetap bersikeras agar Pak Harto diadili. Namun, tambah Cak Nun, pengadilan mantan Presiden RI kedua itu berbenturan dengan keterbatasan peraturan hukum.

“Pak Harto tidak bisa dihukum karena kesalahan policy  (kebijakan. red) dan moral. Yang bisa dihukum adalah kesalahannya secara yuridis dan harus ada fakta secara administratif,” ujar Emha.

Ia berpendapat, Pak Harto harus diadili dalam tiga bentuk pengadilan, yaitu pengadilan hukum dengan berharap ketegasan jaksa agung dan kapolri, pengadilan moral, dan pengadilan ilmiah. Tetapi, sayangnya Cak Nun tak merinci apa yang dia maksud dengan pengadilan moral dan ilmiah itu.

Meski ia tetap bersikeras mendesak agar Pak Harto diadili, Cak Nun meminta masyarakat tidak dendam apalagi benci pada Pak Harto, sebab sesame ciptaan Tuhan. “Saya cinta Pak Harto karena dia sama dengan kita, ciptaan Tuhan. Karena itu, janganlah mengadili Pak Harto karena unsur dendam dan benci,” kata Cak Nun.

Tentang kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, dia menilai masyarakt harus tetap melakukan kritik yang kontruktif dan membangun. “Kita (rakyat. red) ini bos. Kaca mata Gus Dur yang baru itu duit rakyat. Jadi siapa yang tinggi,” celetuk Emha.

Ketika ditanya warga, mengapa Cak Nun tidak mencalonkan diri sebagai presiden dalam Sidang Umum MPR lalu, ia menjawab, “Kenapa harus jadi presiden? Banggalah jadi rakyat. Gus Dur jadi presiden bukan karena dia ingin tetapi karena Allah SWT yang menghendakinya,” jelas Cak Nun.

* Laporan jurnalistik ini pertama kali terbit di Tabloid KORIDOR edisi 34 Tahun 1 tanggal 18-24 November 1999.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...