Cari Blog Ini

Sabtu, 23 Juni 2012

Proses Penulisan Buku Biografi Hoegeng

Akhir 1992 jadi di zaman Orde Baru, di tengah perlbagai tekanan dan larangan Bang Ali (Sadikin) menyampaikan pikirannya: “Yang harus ditulis, riwayat hidup Pak Hoegeng”. Tentu saja dorongan Pak Ali itu menyebabkan niat saya yang sudah ada, hidup dan tumbuh. Namun, waktu itu saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Dalam kondisi itu saya tidak mau melepaskan kesempatan ini. Takut, kalau-kalau…

Bang Ali menyambung lagi, “Riwayat hidup Pak Hoegeng penting dibukukan”. Saya mengiyakan dan mengangguk-angguk. Saya tidak mengatakan bahwa saya sedang menghadapi pekerjaan lain. Saya tidak mau mengecewakannya.

Kelanjutannya, saya telepon-teleponan dengan Bang Ali, setelah saya mendapatkan jalan keluar: penulis novel Abrar Yusra sedia mewawancarai dan menyusun riwayat hidup Pak Hoegeng. Saya siap mengoreksi hasil kerja Bung Abrar bab per bab.

(Maaf sebesar-besarnya kepada Bang Ali di sini—sebab saya sebenarnya tidak boleh membocorkan “rahasia” tentang bantuan Bang Ali untuk “uang bensin” yang diberikan Bang Ali dan diteruskan kepada Bung Abrar. Maka bisalah wawancara dan penyusunan naskah tentang Pak Hoegeng dilaksanakan).

Saya menemui Pak Hoegeng di rumahnya di Jln Madura (Sekarang Jl. Prof. Muh. Amin), menceritakan hasrat saya untuk menuliskan riwayat hidupnya. Kesan saya, santun sekali Pak Hoegeng menerima saya. Saya jadi seperti malu karena sikapnya yang begitu baik.

Ada lukisan yang belum selesai di tengah rumah itu. Dari keterangan Pak Hoegeng, lukisan itu berupa bunga di atas jambangan, naturalistik, adalah hasil kerjanya. “Daripada nganggur,” katanya, “saya coba-coba melukis. Eh, ada juga yang membelinya”.

“Ia yang membelinya itu,” sambung Pak Hoegeng, “menaruh simpati saja pada saya, barangkali, maka ia membelinya,”.

“Siapa yang tidak akan bersimpati pada Bapak?,” sambung saya.

Ada mobil di depan garasi rumah itu. Rupanya Pak Hoegeng melirik pada saya, waktu saya memperhatikan mobil itu.

“Itu hadiah dari Kapolri, dari polisi,” kata Pak Hoegeng menerangkan mobil itu.

“Mengetahui bahwa saya tidak memiliki mobil, mereka memberikan mobil itu kepada saya,” sambung Pak Hoegeng.

Tidak perlu diterangkan, tampak sekali bahwa mobil itu, mobil bekas, bukan baru.

Setelah berbicara agak panjang, dengan menerangkan bahwa yang akan mewawancarai Pak Hoegeng adalah Sdr. Abrar, pamitlah saya.

Tambah yakin saya, bahwa Pak Hoegeng memang orang yang sederhana, yang tak pernah menyalahgunakan kekuasaannya, yang jujur, yang sanggup hidup dengan pensiunnya yang syah. Begitupun tentang istrinya. Tanpa pasangan hidup yang sama kuatnya, sulit sekali kita bisa bersikap jujur di zaman ini. Dan pasangan Bapak dan Ibu Hoegeng tampak mulus dan setia sampai sekarang.

***

Bersama-sama dengan Bung Abrar, saya menemui lagi Pak Hoegeng di rumahnya untuk memulai wawancara.

Seperti semula, hormat sekali penerimaan Pak Hoegeng. Itu kesan yang saya peroleh. Pak Hoegeng, dalam menceritakan pengalaman hidupnya itu banyak humornya—kocaknya—lucunya. Dalam pada itu, ia pun menunjukkan hal-hal yang prinsipil di dalam menempuh hidupnya.

Dari wawancara pertama kali yang saya hadiri, saya sudah bisa menangkap bahwa Pak Hoegeng adalah tokoh yang polos, yang bicara jujur, tetapi yang bersikap tidak mau menyinggung hati orang lain selain mengenai bajingan, penyuap, koruptor, penyelundup, penjahat criminal yang keterlaluan.

Kalau bicara keras begitu pun, ia cerita singkat-singkat saja. Ia tidak menonjolkan diri sebagai pahlawan atau hero. Ia simpan di dalam hatinya—atau mungkin malahan tidak merasa sama sekali—perasaan atau sikap kepahlawanan. Ia anggap hidup jujur dan menjauhi atau menolak suap itu sebagai hal yang sudah seharusnya. Maka ia berbicara lancer dan biasa-biasa saja. Bahwasannya ia telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada kemerdekaan Republik kita ini, itu pun ia ceritakan dengan sikap yang jauh dari sombong. Namun, keteguhan dalam memegang kebenaran menurut keyakinannya itu, seperti baja yang tidak bisa dipatahkan. Tentang ini bisa saya gambarkan dari hasil wawancara dan yang luput, terlewatkan oleh kami di dalam buku Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan.

Saya merasa menyesal, bahwa saya tidak bisa ikuti dalam tiap kesempatan mewawancarainya. Saya hanya bisa membaca hasil pekerjaan Bung Abrar, dan menyampaikan kepada Abrar pertanyaan-pertanyaan yang patut diajukan kepada Pak Hoegeng.

Proses selanjutnya tak ada yang aneh, selain dari penyerahan naskah yang sudah saya baca kepada Pak Hoegeng.

 ***

Suatu hari pada 1980, Hoegeng menerima telepon dari TVRI. Orang TVRI itu, entah siapa, meminta maaf dan mengatakan bahwa siaran musik Hawaiian Seniors akan diakhiri. “Siaran itu akan diganti dengan siaran musik nasional,” kata penelepon. Hoegeng langsung menukas, “Lha, yang benar saja! Apa bukan karena saya penandatangan Petisi 50?” Si penelepon langsung menyahut, “Kok Bapak tahu?”.

Cuma sepenggal itulah cerita Pak Hoegeng mengenai Petisi 50 dalam buku itu. “Nunggu waktu baiklah. Nanti akan dibicarakan dulu dengan teman-teman,” komentar Ali Sadikin, salah seorang tokoh Petisi 50 yang bukunya telah lebih dulu diterbitkan. Selebihnya, autobiografi ini lebih bercerita mengenai masa kanak-kanak, remaja, dan terutama sekali karier Hoegeng di kepolisian.

Pak Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921. Ayahnya Soekario Kario Hatmojo, seorang jaksa yang berasal dari Tegal. Sedang ibunya, Umi Kalsum, berasal dari Pemalang. Kakek buyut Hoegeng (dari pihak ayah) seorang ningrat keturunan Mataram yang tak boleh hidup di lingkungan keratin setelah pemberontakan Diponegoro. Kakek buyut itu, yang hanya ia kenal dengan sebutan “Pangeran”, konon berpihak kepada Dipenogoro dan memusuhi Belanda saat perang itu meletus.

Alhasil, Pak Hoegeng bisa disebut keturunan ningrat dan ambtenaar sekaligus. Sekalipun begitu, toh latar belakang budaya pesisirnya—tempat ia lahir, hidup, dan dibesarkan—yang berpengaruh besar pada diri Hoegeng. Sebuah budaya yang menimbulkan konotasi khas: “orang Pekalongan”, cerita di seputar “orang Pekalongan”.

Pada 1965 Hoegeng diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri. Sekretarisnya memberitahukan bahwa di balik pintu kerjanya sudah menunggu seorang tamu dari Pekalongan. Sang tamu tak mau bilang ia datang untuk urusan apa. Pesan kepada sekretaris pribadinya singkat. Khas gaya Pekalongan bila hendak bertemu dengan orang Pekalongan. “Pak Hoegeng pasti menerima kedatangan saya!”.

Orang yang menunggu itu ternyata Hasan, teman main laying-layang Hoegeng ketika masih kanak-kanak. Begitu Hasan masuk, dan pintu tertutup, maka menyemburlah sumpah serapah yang hangat dan gembira: “Asu. Kowe bener-bener asu, ya. Gendheng bener, wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri.” (Maaf—Anjing. Kamu benar-benar anjing, ya. Gila amat orang Pekalongan bisa jadi menteri). Itulah yang disebut Hoegeng sebagai ‘gaya Pekalongan’, sebuah gaya budaya Jawa Pinggiran yang bisa disandingkan dengan gaya Jawa Timuran.

Yang menarik, tentu saja bila kedua orang berbudaya pinggiran bertemu. Alkisah, tak lama sesudah pengangkatannya sebagai menteri, Hoegeng menerima telegram dari dr.Soebandrio—anak wedana yang berasal dari Jawa Timur, yang juga diangkat sebagai menteri oleh Bung Karno. Telegram itu berisi ucapan selamat yang tak mungkin diceritakan pada bawahannya: “Diancuk (sialan!). Kowe diangkat pula jadi menteri!”.

Tak pelak, tulis seseorang di koran, menjadikan buku ini renyah dan enak dibaca.

***

Hoegeng kuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) tahun 1940 pada usia 19. Sekolah inilah yang kemudian menghantarkannya pada profesi kepolisian—profesi yang membuatnya bergaul dengan berbagai pengalaman yang menarik. “Menjadi pejabat, apalagi penegak hukum, memang banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tak tahan godaan disuap; dan membuat pleidoi bahwa kekayaannya itu didapat karena pershabatan”.

Pada 1965 Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara—suatu wilayah yang sering disebut test case terberat di Indonesia. Sebutan itu terbukti betul. Begitu tiba di tempat tugasnya, Hoegeng harus menerima ucapan selamat datang yang unik. Ia menemukan rumah dinasnya penuh dengan barang-barang luks, kiriman seorang pengusaha Cina yang mengaku sebagai ‘Ketua Panitia Selamat Datang’

Tentu saja Hoegeng menolak sambutan unik itu. Namun, Cina tukang suap itu ternyata memang badung. Akhirnya karena sampai batas waktu yang ditetapkan barang-barang tersebut belum juga dikeluarkan, maka Hoegeng memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang-barang luks secara paksa. “Saya rasa perkenalan pertama itu memang mendebarkan,” aku Hoegeng.

Jaksa Agung Soeprapto, saat pamitan di Jakarta sebelum berangkat ke Medan, memang mengeluarkan pernyataan yang selalu terngiang-ngiang di kepala Hoegeng. “Anda ditugaskan memberantas penyelundupan, judi, dan korupsi. Namun, pada akhirnya terserah jij sendiri. Apakah jij mampu bertahan, atau tak lebih dari pejabat yang harganya bisa dihitung: tiga, empat, enam bulan, atau setahun!. Banyak yang tidak tahan dan kami biasa dengar ejekan!”.

Hoegeng rupanya bukan termasuk pejabat yang bisa dihitung itu. Ia bersikap tegas. “…..Saya memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab. Maka keinginan saya yang pertama adalah menegakkan citra ideal polisi dan diri saya,” katanya.

Ia masih memegang prinsip itu hingga kariernya menanjak ke tangga yang paling puncak; sebagai Kapolri. Justru, pada masa itulah Hoegeng berhasil membongkar kasus Robby Tjahjadi—penyelundup mobil mewah kelas kakap, yang jadi salah seorang konglomerat tekstil di Indonesia.

Kasus itu merupakan kasus yang menggemparkan. Melalui modus operandi yang canggih, Robby Tjahyadi, yang hanya jebolan SMA, berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Diketahui, sebelumnya sekitar 3.000 mobil mewah lainnya sudah diselundupkan ke Indonesia.

Ia juga menggemparkan karena faktor lain. Kendati tim inti penyelundupan itu hanya tiga orang, tetapi penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan Kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun.

Tak lama sesudah terbongkarnya kasus Robby Tjahyadi, kepada wartawan Hoegeng menjanjikan lagi sebuah berita besar. Yakni, terbongkarnya kasus penyelundupan besar di Tanjung Priok. Sayang, sebelum janji itu terlaksana, Hoegeng menyadari kariernya di dunia kepolisian harus selesai sebelum masa jabatannya habis. Itu diketahuinya sejak ia diberi sepucuk surat. Isinya: ia didubeskan, mendapatkan tugas baru di Kerajaan Belgia.

Sejak awal Hoegeng sudah memilih. Ia menolak tugas baru tersebut. Setelah Pak Hoegeng berbicara dengan atasannya, Menhankam Panggabean, ia menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tawaran itu. “Lho, bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Pak Harto. “Saya tidak bersedia jadi Dubes, Pak,” jawab Hoegeng. “Tapi tugas apapun di Indonesia akan saya terima,” lanjutnya. Pak Harto menjawab lagi, “Di Indonesia tidak ada lowongan lagi, Mas Hoegeng”. Hoegeng pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja”. Mendengar itu Pak Harto terdiam, Hoegeng juga diam.

Tentu saja, dengan segera pemberhentian itu mengundang kontroversi. Apalagi penggantinya ternyata berusia lebih tua dibandingkan dirinya. Karena itu tak heran, setelah selesai menghadap Presiden, wartawan menberondongnya dengan pertanyaan olokan, “Apakah Bapak sedang diremajakan atau dipertuakan?” Hoegeng yang biasanya tangkas menjawab pertanyaan wartawan, kali itu harus kelabakan.

Banyak yang mengaitkan pencopotan Hoegeng dengan terbongkarnya kasus Robby. Ada pendapat, ia tidak disukai banyak pejabat. Soalnya Hoegeng membongkar kasus itu sebelum Bakolak bagian penyelundupan pimpinan Ali Said turun tangan. Padahal di pihak lain, Hoegeng sendiri sering merasa tidak sabar. Pada 1968 kepolisian menemukan banyak mobil selundupan lolos tanpa melalui prosedur yang sah. Tahun itu juga bahkan disita 4 buah Mercy mewah hasil selundupan. Anehnya, demikian kata Hoegeng, Kejaksaan Tinggi Jakarta lantas mendeponir perkara itu.

Selain masalah penyelundupan, Hoegeng juga dikenal karena kegigihannya untuk menguak kasus Sum Kuning yang melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi militer. Selain itu, Hoegeng yang memberlakukan peraturan wajib helm bagi pengendara kendaraan bermotor.

Selain berbagai pengalaman pribadinya mengabdi di kepolisian, buku ini juga memuat pandangan Hoegeng mengenai lembaga itu. Misalnya, ia memimpikan “pemulihan wewenang Polri”. Ia memimpikan peran kepolisian yang murni. Artinya, polisi tidak termasuk dalam unsur ABRI. Sebagaimana di negara lain, ia bermimpi suatu kali kepolisian langsung di bawah Presiden/Perdana Menteri atau Mendagri.

Ia berpendapat, secara prinsip ada perbedaan antara doktrin polisi dan militer. Yang pertama, tembak dulu, lalu perkaranya urusan belakang—sebab yang dihadapi militer dalam suatu perang jelas musuhnya. Sedang polisi, ‘jangan tembak, tetapi dudukkan perkara dulu’. “Ketika saya menyampaikan tanggapan saya demikian,” kata Pak Hoegeng, “Pejabat Presiden Soeharto tidak membantah”.

Ditanya bagaimana kriteria polisi yang ideal, Hoegeng menjawab, “Saya harapkan polisi bisa tetap lurus. Saya harapkan generasi muda polisi jujur”.

Meski sudah lama meninggalkan dunia kepolisian, ia masih sering menerima laporan tentang kondisi polisi. Laporan ini, tentunya hanyalah cermin kecil dari dunia kepolisian sekarang. Misalnya, masih ada orang yang ingin ujian masuk polisi, kok disuruh bayar macam-macam. “Menurut saya, hal seperti itu tidak boleh jadi. Dulu waktu saya masih dinas sebagai Kapolri, praktik macam itu memang ada, lalu saya ambil tindakan,” katanya.

Peluncuran Buku

Pada 5 Agustus 1993, Kamis malam, diluncurkan buku HOEGENG, Polisi: Idaman dan Kenyataan di Graha Purna Wira di Jln. Dharmawangsa III/2, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kompleks polisi, kalau tak salah. Pihak yang mengundang ialah Aristides Katoppo, pimpinan Pustaka Sinar Harapan dan Aditya Hoegeng dari pihak Pak Hoegeng.

Hadir banyak tokoh pejuang Republik kita malam itu, antara lain Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Subadio Sastrosatomo, mantan Kapolri Awaloedin Djamin, Ketua LBH Adnan Buyung Nasution, Sayidiman Suryohadiprojo, Amartiwi Saleh, tokoh LBH dari Bandung, Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto, Soehario Padmowirio yang pernah ditahan Orde Baru.

“Pesta sederhana,” kata Ali Sadikin, seperti acara nostalgia karena hadir rekan-rekan seperjuangan Hoegeng di kepolisian ataupun dalam kelompok Petisi 50. Kenyataan ini berbeda sekali ketika peluncuran buku Bang Ali beberapa waktu lalu.

“Dulu peluncuran buku saya dilakukan di sela-sela kesibukan kantornya Aristides, tidak seperti saat ini,” kata Bang Ali.

Tiap orang yang hadir dalam peluncuran buku itu memberikan kesannya. “Riwayat Hoegeng patut dipelajari semua orang,” ujar Aristides Katoppo memberikan alasan mengapa autobiografi Hoegeng diterbitkannya.

Menurut Aristides, buku autobiografi Hoegeng bukan hanya sekadar menceritakan pengalaman kiprah Hoegeng dalam dunia kepolisian, tetapi ada sesuatu di balik semua itu yang patut diketahui masyarakat. “Sikap dan moral Hoegeng, terasa kian langka untuk ditemukan,” kata Katoppo. Namun, Pak Hoegeng sendiri berkomentar, “Mudah-mudahan buku ini bisa jadi bacaan hiburan di kala senggang,”.

Sosok Hoegeng memang patut diteladani. Ia adalah sosok manusia langka di Indonesia yang kini tengah dilanda krisis multidimensi, begitu juga dengan krisis pemimpin yang jujur dan berdedikasi tinggi pada profesi. Kejujuran, sikap rendah hati yang dimiliki Hoegeng semasa menjadi Kapolri sungguh merupakan keteladanan yang sulit ditemukan di masa kini.

Mohammad Hasan, Kapolri yang menggantikan Hoegeng melukiskan, “Pak Hoegeng adalah orang yang nggak punya musuh. Semua orang senang padanya, hanya tempo-tempo dia keras kepala,” komentar Hasan.

Sedang Bang Ali, Ketua Pokja Petisi 50 mengomentari pasangan suami-istri Hoegeng dan Merry merupakan pasangan yang menyenangkan dalam berbagai pergaulan. “Dia teladan,” ujar Ali Sadikin.

Komentar senada dilontarkan tokoh hak asasi manusia, Adnan Buyung Nasution. “Dia seorang yang berjuang tanpa pamrih. Perbuatannya patut diteladani,” kata Buyung Nasution. Buyung mengutarakan, apa yang dulu dilakukan Hoegeng seharusnya bisa dicontoh. “Buat LBH, Hoegeng punya jasa yang luar biasa. Ia memberikan perhatian dengan memerintahkan kepada jajaran kepolisian untuk membantu LBH menegakkan hukum dalam berbagai kesempatan. Jadi, LBH dianggap Pak Hoegeng sebagai partner perjuangan polisi,” kata Buyung.

Kapolda Metro Jaya waktu itu Mayjen (Pol) Drs. Moch. Hindarto berucap, “Hoegeng memang polisi yang lurus dan jujur. Ketika jadi Kapolri, ia tidak suka kalau ada polisi yang neko-neko (macam-macam). Jika dapat laporan masyarakat, ada polisi yang melakukan pungli, beliau langsung memanggil polisi yang bersangkutan,” kata Hindarto yang ketika Hoegeng jadi Kapolri, Hindarto masih berstatus mahasiswa PTIK.

Yang saya ingat, selain Aristides Katoppo, Pak Hoegeng dan saya (juga mewakili Abrar Yusra yang bersikap malu-malu), ramai (dan tertawa terbahak-bahak) waktu Bung Subadio berbicara. Lupa lagi bagaimana awalnya, tapi yang terus terkenang adalah waktu Bung Subadio bicara menyinggung dua tokoh kita, yaitu Mochtar Lubis dan Soehario. Soebadio menunjukkan kegembiraannya dengan mengemukakan bahwa ia senang Mochtar Lubis dan Soehario hadi dalam kesempatan itu. Mengutip ucapannya yang pasti tidak tepat kata-katanya tapi serupa isinya, adalah bahwa “Saya gembira sekali Mochtar Lubis yang disebut kaki tangan CIA dan Soehario yang disebut kaki tangan KGB hadir bersama-sama dalam kesempatan ini,”. Gerr, orang-orang tertawa. “Seberapa benarnya cerita orang tentang kedua tokoh ini, saya tidak tahu,” kata Soebadio. “Tapi yang pasti adalah, kita mesti gembira, kedua tokoh pejuang ini sekarang sudah bersatu kembali,”. Memang waktu itu Soebadio sedang gandrung untuk menyatukan kembali semua potensi pejuang Indonesia kita yang pernah tercerai-berai disebabkan sengit antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kelanjutan hubungan baik antara Mochtar Lubis dan Soehario adalah bahwa buku-buku karya Soehario diterbitkan oleh penerbit “OBOR” pimpinan Mochtar Lubis.

***

 Yang tidak saya sadari waktu itu adalah munculnya Ibu Umi Kalsum, ibunda Pak Hoegeng, di atas kursi roda, hubungannya dengan satu kata yang ada di dalam buku. Ternyata adegan ini menjadi perhatian para wartawan, disebabkan tertera di dalam buku Pak Hoegeng itu sebagai caption foto Ibu Umi Kalsum—jadi bukan di dalam cerita pengalaman hidup Pak Hoegeng–, “Ibu saya almarhumah Umi Kalsum”.

Kesalahan ini entah pada siapa. Pasti bukan pada Pak Hoegeng jika ia membaca naskah itu secara lengkap, termasuk caption foto-foto yang ada di dalam naskah itu. Kesalahan itu pasti berada pada yang menetapkan teks caption foto-foto itu. Siapa dia? Siapa yang nyelonong meneriakkan 5 buah kata: “Ibu saya almarhumah: Umi Kalsum” di samping foto ibunda Pak Hoegeng itu? Yang pasti, saya mesti ikut bertanggung jawab. Walaupun itu bagi pihak yang biasa menyusun buku bisa dimaklumi, saya pribadi patut meminta maaf sebesar-besarnya kepada yang bersangkutan dan keluarga Pak Hoegeng. Kesempatan ini saya pergunakan sekarang untuk menyatakan itu.

Setelah saya sadar, saya mesti hati-hati sekali bekerja sama dengan pihak-pihak yang terkait dengan penerbitan buku: sesama penulis, tokoh yang ditulis, penerbit, percetakan. Namun, kesadaran ini tidak menyebabkan salah cetak hilang dari buku-buku kita yang terbit sekarang. Salah cetak di dalam buku-buku kita yang terbit sekarang ada saja, kalau tidak boleh dikatakan berjubel.

Sementara itu saya sudah mengadakan hubungan yang baik dengan Aristides Katoppo, pemimpin badan penerbit Pustaka Sinar Harapan. Dan dia tentu memperlihatkan kegembiraannya bahwa Pustaka Sinar Harapan dipercaya untuk menerbitkan buku tentang Pak Hoegeng. Ia tidak menarik biaya sesen pun dari penerbitan buku ini.

Pendek kata, semua pihak menaruh hormat kepada Pak Hoegeng, dan tahu bagaimana kedudukan Pak Hoegeng waktu itu.

Bagi keluarga Hoegeng saat peluncuran buku merupakan saat yang membahagiakan karena bertepatan dengan hari ulang tahun ke-91 ibunda Umi Kalsum Karyohatmojo. Sang ibunda, yang malam itu tampak gembira duduk di kursi rodanya.

Setelah kami serahkan buku itu kepada Pak Hoegeng, buku itu kemudian dipersembahkan kepada ibundanya. Selepas buku itu dari tangan, mantan Kapolri itu dengan hikmat memberi hormat dengan cara merangkapkan kedua tangannya di depan dada ke arah sang ibunda yang dicintainya, Umi Kalsum.

Oleh: Ramadhan K.H.

(Catatan ini ditulis oleh Ramadhan K.H. dan dikutip dari buku “Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang, April 2009)

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...